Jumat, 19 April 2019

Jadwal Tayang Film di Seluruh Bioskop



Note: Jadwal tayang film yang akan di putar di bioskop indonesia
  • Jadwal ini merupakan jadwal film yang akan segera di tayangkan di seluruh bioskop Indonesia.
  • Informasi jadwal tayang ini diperoleh dari distributor dan jaringan bioskop di Indonesia.
  • Blog ini akan selalu di-update jika ada informasi baru mengenai film yang akan tayang.
  • Ingat ! Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu.
* = Film Indonesia

02/04/2019
Shazam!
04/04/2019
Lukisan Ratu Kidul *
04/04/2019
Mantan Manten *
05/04/2019
Pet Sematary
10/04/2019
Hellboy
11/04/2019
Ave Maryam *
11/04/2019
Bumi Itu Bulat *
11/04/2019
Sunyi *
18/04/2019
Pocong the Origin *
18/04/2019
Kucumbu Tubuh Indahku *
18/04/2019
Rumput Tetangga *
24/04/2019
Avengers: Endgame
27/04/2019
27 Steps of May *
--/04/2019
Missing Link
--/05/2019
Pokémon Detective Pikachu
--/05/2019
UglyDolls
--/05/2019
John Wick: Chapter 3 - Parabellum
--/05/2019
Aladdin
--/05/2019
Ad Astra
--/05/2019
Godzilla: King of Monsters
--/05/2019
Rocketman
--/06/2019
Dark Phoenix
--/06/2019
The Secret Life of Pets 2
--/06/2019
Men in Black: International
--/06/2019
Toy Story 4
--/06/2019
Child's Play
--/06/2019
Annabelle Comes Home
--/07/2019
Spider-Man: Far From Home
--/07/2019
The Lion King
--/07/2019
Once Upon a Time in Hollywood
--/08/2019
Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw
--/08/2019
The New Mutants
--/08/2019
Dora and the Lost City of Gold
--/08/2019
Artemis Fowl
--/08/2019
The Angry Birds Movie 2
--/08/2019
Angel Has Fallen
--/09/2019
It: Chapter Two
--/09/2019
Spies in Disguise
--/09/2019
Rambo V: Last Blood
--/09/2019
Abominable
--/10/2019
Joker
--/10/2019
Zombieland: Double Tap
--/10/2019
The Addams Family
--/10/2019
Maleficent: Mistress of Evil
--/11/2019
Terminator: Dark Fate
--/11/2019
Charlie's Angel
--/11/2019
Arctic Justice
--/11/2019
Sonic the Hedgehog
--/11/2019
Kingsman: The Great Game
--/11/2019
Frozen II
--/12/2019
Jumanji 2
--/12/2019
Star Wars: Episode IX
--/12/2019
Masters of the Universe
Diperbarui pada 28/03/2019

Review dan Nonton Film 2019 : THE BEST OF ENEMIES (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE BEST OF ENEMIES (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE BEST OF ENEMIES (2019)

Roger Ebert suka menjelaskan jika ini bukan mengenai film, tapi bagaimana mengenainya. "The Best of Enemies" ialah mengenai aktivis hitam yang terang-terangan, Ann Atwater (Taraji P. Henson), berselisih masalah integrasi sekolah dengan C.P. Ellis (Sam Rockwell), Cyclops yang ditinggikan dari Cabang North Carolina dari Ku Klux Klan. Ganda ini bersama mengetuai satu charrette dimana hasil pengambilan suara sebagian besar akan memastikan nasib siswa Kulit Hitam Durham Timur yang sudah diungsikan oleh kebakaran sekolah. 

Walau tidak ada cinta yang hilang diantara mereka, Atwater serta Ellis pada akhirnya jadi rekan seumur hidup. Buat Anda yang masih tetap jijik dari petugas polisi rasis yang disangka lakukan penebusan di "Three Billboard Outside Ebbing, Missouri," film ini mempunyai sinyal terima atas penukaran ciri-ciri Rockwell-nya: Kami bukan sekedar lihat Atwater serta Ellis yang asli bersama saat credit penutup, kami Diberitahu jika Atwater memberi pidato di pemakaman Ellis. 

Pembaca yang budiman, berikut yang disebut dengan “Yang Terunggul dari Musuh”, serta saya tidak mempunyai permasalahan dengan itu. Kebenaran kadang lebih aneh dibanding fiksi. Permasalahan saya semua datang dari bagaimana film ini mengenai cerita itu. 

Naskah sutradara Robin Bissell mempunyai simpati semakin besar untuk, serta lebih memerhatikan, anggota Klan dibanding anak-anak Hitam yang waktu depannya kemungkinan selama-lamanya rusak oleh dari hasil charrette. Walau mempunyai sisi yang sama dalam narasi, Ann Atwater didorong ke latar belakang, terkadang menghilang dari film untuk peregangan sekaligus juga. 


Saat ia tampil di monitor, ia entahlah lakukan beberapa hal suci untuk musuhnya atau merengut ke camera. Saya mesti berfikir panjang serta keras sebelum saya ingat adegan dimana camera Bissell tidak terpaku di wajah geram Taraji P. Henson. C.P. Ellis bisa mengekspresikan semua jenis emosi yang dipandang mewakili perseteruan serta kemanusiaan; semua yang dapat dikerjakan Ann Atwater ialah sesuai peranan stereotip dari “pissed off sistah.” Bahkan juga film tersebut mengolok-olok kemarahannya yang benar, dengan beberapa orang kulit putih menunjukkan di monitor jika ia menanggung derita PMS.


Film ini tidak cuma tuli-nada, tetapi terbelakang. Apa beberapa pembuat film membaca ruang sebelum menjatuhkan malarkey yang mengejek ini ke bioskop? Atau mereka membaca ruang dengan benar, mengingat "Buku Hijau" yang menjijikkan itu barusan memenangi Best Picture. 

Bagaimanapun, saya tidak yakin jika, pada tahun 2019, saya mesti mengevaluasi film dimana penyelamat kulit putih saya yang paling baru ialah orang yang sama yang menempatkan tali di leher saya serta menggantung saya di pohon paling dekat. Ya, dalam kehidupan riil Ellis memang lihat kekeliruan langkah serta perubahannya. Tetapi tentunya tidak berlangsung lewat cara film ini menyajikannya. Sebetulnya, pidato menyobek kartu keanggotaan Klan Ellis yang besar, berdiri serta bersorak tidak logis dalam kerangka cerita ini. 

Serta janganlah salah, "The Best of Enemies" ialah cerita penyelamat Putih. Kita belajar semakin banyak mengenai keluarga Ellis, rekan-rekan Klan-nya, serta pompa bensinnya dibanding kita mengenai putri Atwater, siswa yang kehilangan rumah atau ciri-ciri kulit hitam yang lain tidak hanya Bill Reddick (Babou Ceesay), lelaki yang mengamati arang. 

Kami habiskan lebih banyaknya waktu di bar selam rasis dimana Klan membuat percakapan mudah dibanding yang kami kerjakan di sekolah yang masih tetap menyala-nyala dimana anak-anak kulit hitam mesti ambil kelas walau ada asap. 

Semakin banyak usaha sinematik dihabiskan untuk meratapi hilangnya 650 galon gas dalam tempat kerja Ellis dibanding situasi dibawah standard yang perlu ditemui masyarakat Durham Timur sebab tuan tanah serta politisi mereka bersekongkol dengan kru Ellis. 


Langkah Bissell memperlakukan peranan Ellis dalam KKK diduga. Memang, Ellis serta saudara-saudaranya meludahi penghinaan rasial serta tidak mau mencampuradukkan ras, tapi dua aksi kekerasan yang dikerjakan Klan saling pada wanita kulit putih. Satu diantara korban ialah "kekasih nigra" yang populer yang tempat tinggalnya terangkat dengan pergerakan lamban fetisisme (yakinkan tidak untuk memukulnya dengan peluru, ingat-ingatlah). Ellis ialah peserta yang bersedia disana. 

Tetapi ia tidak ada pada contoh ke-2. Dalam soal itu, wanita lainnya diancam dengan pemerkosaan serta pembunuhan terkecuali ia pilih menentang integrasi. Beberapa kroni Ellis memaksanya mengatakan ejekan rasial waktu mereka lakukan pelecehan seksual terhadapnya, serta menjadi akhirnya, ia memberi nada menentang kemauannya. Ellis pun tidak ada saat kroni-kroninya meneror dokter hewan Vietnam yang tokonya cuma mempekerjakan orang kulit hitam, termasuk juga sama-sama dokter hewan yang mengurus toko. Tangan Ellis yang cuma kotor 1x dengan design. 

Selain itu, Ann Atwater tua yang pemarah meneriaki kebanyakan orang yang berkuasa hingga ia dapat didengar, melakukan tindakan lebih jauh dengan menumpangi aktor terburuk. (Ini tidak mengada-ada — Atwater yang asli diketahui sebab ini serta Henson mainkan neraka dari adegan ini.) Tetapi ini semua yang kita betul-betul dalami mengenai ia. 

Ia ialah teka-teki dalam kisahnya sendiri. Saat putra Ellis yang dilembagakan memerlukan kamar pribadi hingga dia bisa berperan lebih baik, Atwater entahlah bagaimana membuat persetujuan dengan seseorang perawat berkulit hitam yang dia kenal di rumah sakit. Mengapa ia lakukan ini? Nah, dalam mempelajari narasi ini, saya membaca cuplikan dari Ms. Atwater dimana ia memvisualisasikan mode aktivisnya menjadi memberikan seorang apa yang mereka kehendaki dan memberitahu mereka apa yang ia kehendaki menjadi imbalan.


Review dan Nonton Film 2019 : MERCY BLACK (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : MERCY BLACK (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : MERCY BLACK (2019)


Film horor paling baru dari Netflix dengan waktu yang tidak biasa jam 12:01 AM di hari Minggu pagi. Tapi mengingat monster "Mercy Black" —sebuah kemampuan supernatural yang menyeramkan, hipnotis, fiktif seperti Slenderman, Candle Cove, atau Blair Witch di depan mereka — logis: Netflix diam-diam menjatuhkan "Mercy Black" ke perpustakaannya seperti Reddit anonim posting yang bercerita cerita mengerikan, dimana yang sangat penting ialah jika itu menebar, yang membuat orang takut yakin. Tapi bila mempunyai Momo sendiri ialah usaha paling baru Netflix untuk mencapai pirsawan, mereka akan memerlukan monster yang tambah lebih mengganggu. 

Dalam masalah seseorang wanita bernama Marina (Daniella Pineda), Mercy Black ialah fakta jika dia serta temannya Rebecca lakukan perihal yang mengerikan pada rekan ke-3 15 tahun waktu lalu. Dalam posisi pembukaan, kita lihat ia serta Rebecca berjalan gadis ke-3 lewat lapangan terbuka (menyanyikan "Itsy Bitsy Spider," jadi kau tahu itu tidak menyenangkan) ke jurang, dimana gadis ke-3 dipukul kepalanya dengan batu. Pun selekasnya tersingkap jika mereka menikamnya berulang-kali. Narasi bersambung jika Rebecca serta Marina berupaya tawarkan pengorbanan untuk Mercy Black, pasukan yang sudah janji untuk ambil kembali rasa sedih mereka menjadi balasan. Tetapi apa Mercy Black riil? Bila tidak, siapa yang dibuat-buat?.


Sekian tahun sesudah momen itu, saat Marina yang malu tinggalkan perawatan psikiatris untuk tinggal bersama dengan saudara perempuannya Alice (Elle LaMont) serta putra muda Alice yang gampang dikuasai, Bryce (Miles Emmons), Mercy Black masih hidup. Seperti yang diakui Bryce saat mencari Mercy Black di internet, dia jadi viral, dengan kisah-kisah asli di beberapa situs situs yang mungkin atau belum dikisahkan sebelum insiden Marina. Serta seperti Will (Austin Amelio), pacar pecandu-kejahatan sejati Alice yang cerewet mengatakan dengan susah saat bergairah mengenai Mercy Black dengan pertanda dolar di matanya, "Ia cukuplah riil." 


Selain itu Marina dihantui oleh daya ingat akan kejahatan itu (seakan-akan ia tidak melakukannya dikit juga di sarana yang dipantau oleh Dr. Ward) yang memuntahkan pemaparan oleh Janeane Garofalo. Serta tidak lama sesudah kehadiran Marina, tonjolan aneh pada malam hari mulai berlangsung di dalam rumah Alice, khususnya buat Bryce. Marina coba membantunya dengan bagikan tipuannya untuk kewarasan — menjelaskan pada diri pribadi jika itu tidak riil, serta mengkalkulasi sampai lima — tapi 'terdengar seperti punggung Mercy, serta Marina lebih baik menelusuri kembali cara-caranya dari 15 tahun waktu lalu. 

Dalam beberapa bagian berikut Pineda lakukan pekerjaan emosional yang solid, menunjukkan seseorang wanita kerja lewat kengerian pribadi. Tapi naskah hanya terbatas oleh penulis / sutradara Owen Egerton tidak membawa beberapa ide kepercayaan serta trauma yang menggelitik ini ke tempat yang penuh rintangan seperti aksi ke-3 yang cukup berkelok. 

Untuk satu narasi yang dibuat diatas palpabilitas kepercayaan — jika meyakini suatu lebih kuat dibanding fakta— "Mercy Black" tunjukkan garis kepraktisan dengan terornya. Type monster apa yang kita hadapi di sini: perhitungan supernatural? Atau keadilan daging-dan-darah ini, seperti manusia kait yang dilepaskan pada remaja 90-an yang lupa dalam “I Know What You Do Last Summer”? Egerton merayu ke-2 peluang untuk waktu yang lama, serta itu cuma terbayar saat film betul-betul hilang ingatan diakhir. Credit dimana credit jatuh tempo, itu ialah type resolusi yang mungkin kehilangan karunia beberapa pirsawan, sama dengan itu mungkin memenangi sebagian dari mereka. 

Egerton begitu spesial dalam bagaimana kita belajar mengenai kejadian Marina, mengingat kembali dengan luka yang tidak diduga serta penyebab visual. Tetapi rasa-rasanya tidak seperti daya ingat Marina sangat banyak sebab penulis / sutradara sembunyikan info untuk membuat ketakutan, perlahan membawa kita ke deskripsi besarnya. 


Walau ini ialah hanya satu waktu film ini memusingkan - makin mengutarakan begitu jahatnya gadis-gadis muda ini - mereka pun membuat lebih menjemukan. Sesaat menelusuri misteri waktu lantas serta alami shenanigans supernatural sekarang ini, Anda menanti "Karunia Hitam" membuat Anda takut akan rahasianya. Peristiwa itu belum pernah datang. 

Drama ini dengan sporadis ingin tahu, tapi Anda sudah lihat beberapa hal seram dalam "Mercy Black" lebih dari seringkali awal mulanya: rumah tua berderit yang nyaman tidak mempunyai banyak pencahayaan pada malam hari, lompatan ketakutan yang telegraf dengan jelas suntingan serta isyarat musik, seseorang anak muda yang terlihat angker. Bahkan juga design Mercy sendiri membuat Anda mengharap dikit semakin banyak intimidasi. 

Saat sampai pada apa yang membuat kita takut, yakin ialah lihat. Itu yang menyebabkan mimpi jelek virus moderen kita, seperti dalam masalah anak-anak yang tidak paham lebih baik serta orangtua mereka yang lalu ketakutan (termasuk juga Kim Kardashian) yang memberikan Momo kehidupan lebih dari sebatas photo patung yang dipotong dengan latar belakang mengerikan yang terpasang. 

Tetapi kemampuan "Karunia Hitam" yang hampir tidak disadap, baik dalam adegan trauma atau teror, membuat makin menyedihkan. Mercy Black hanya monster lainnya yang tidak Anda percayai.


Review dan Nonton Film 2019 : HOTEL MUMBAI (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : HOTEL MUMBAI (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : HOTEL MUMBAI (2019)


Buat masyarakat India, empat hari di penghujung bulan November pada tahun 2008 akan dikenang jadi hari-hari terkelam dalam kisah bangsa. Bagaimana tidak, kota Mumbai yang didapati jadi sentra usaha mendadak diserang dengan membabi buta oleh beberapa kumpulan pria bersenjata. Seputar 174 jiwa melayang sia-sia, sekejap lebih dari 300 penyintas alami luka-luka. 

Serangan dilancarkan ke delapan titik di sejumlah sudut kota, termasuk hotel bintang lima bernama The Taj Mahal Palace Hotel yang seringkali jadi singgahan sebagian orang penting dari seluruh dunia. Lihat statusnya jadi hotel penting, tidak bingung jika lantas tempat ini memberikan banyaknya korban cukup besar. Ada banyak ratus manusia yang buat jadi sandera waktu tiga hari waktu lalu menggerakkan media-media asing untuk meliput peristiwa penyanderaan itu. 


Mereka kerjakan reportase juga sekaligus melemparkan menanyakan berbunyi “siapa dalang dibalik peristiwa ini?”, “apa motivasi yang melandasinya?”, “bagaimana situasi di hotel?”, dan “akankah pasukan istimewa dari New Delhi bisa ada cocok waktu untuk selamatkan beberapa sandera?.” Empat buah menanyakan yang butuh diakui terdengar seksi nan menggelitik untuk buat jadi jadi bahan penting buat lahirnya satu film panjang. Dan tentu saja, kesempatan ini tidak disia-siakan demikian saja oleh sineas dari India waktu lalu membuahkan The Attacks of 26/11 (2013), lalu disusul oleh sineas asal Prancis lewat Taj Mahal (2015, sempat tampil pun di Indonesia), dan paling baru adalah kerja sama dari tiga negara; Australia, India, serta Amerika Serikat berbentuk Hotel Mumbai. 


Seperti dalam Taj Mahal, Hotel Mumbai pun tempatkan fokusnya dengan detail pada peristiwa penyerangan dan penyanderaan di The Taj Mahal Palace Hotel. Oleh sutradara pendatang baru Anthony Maras, pirsawan bukan hanya diijinkan “melihat langsung” peristiwa ini melalui kacamata satu dua beberapa ciri saja tapi terdapat beberapa pemikiran yang diserahkan termasuk beberapa teroris. 

Beberapa tanda yang mempunyai tanggung jawab menggerakkan narasi salah satunya seorang pelayan bernama Arjun (Dev Patel) yang tengah menantikan lahirnya anak ke-2, kepala koki bernama Hemant Oberoi (Anupam Kher) yang tetap mengingatkan anak buahnya untuk memerlakukan tamu seharusnya dewa, seorang pewaris kerajaan usaha berdarah Iran-Inggris bernama Zahra (Nazanin Boniadi) yang ada dengan suami (Armie Hammer) bersama dengan pengasuh bayinya (Tilda Cobham-Hervey), sisa anggota pasukan istimewa asal Rusia bernama Vasili (Jason Isaacs), dan empat orang teroris yang salah satunya bernama Imran (Amandeep Singh). 

Setelah beberapa teroris menjejakkan kaki di The Taj Mahal Palace Hotel dengan menyamar jadi penyintas dari grup masyarakat sipil, kekacauan pun sesegera menempa seisi hotel. 

Dengan diawali melesakkan peluru ke sejumlah tamu dan staf di lobi, keempat teroris dengan perlahan tapi pasti mulai menelusuri ke masing-masing kamar untuk mengakhiri beberapa tamu. Memahami bila nyawa beberapa tamu berada di ujung sundul dan pertolongan tidak kunjung ada, Hemant Oberoi bersama dengan beberapa staf hotel yang masih tetap ada pula berinisiatif untuk bertindak penyelamatan walaupun nyawa sendiri jadi taruhannya 

Dari sejak menit-menit pembuka, Hotel Mumbai telah menerapkan laju penceritaan yang bergegas. Pirsawan diperkenalkan secara cepat dengan karakter-karakter protagonis yang memiliki manfaat besar seperti Arjun, Hemant, Zahra bersama dengan keluarga kecilnya, dan Vasili, lalu beralih ke sejumlah teroris yang membuat huru-hara di seputaran Mumbai. 

Kita memang hanya tahu tentang mereka sekelumit saja, tapi bekal itu cukuplah sudah untuk bikin afeksi dengan karakter-karakter inti karena kita ketahui bila mereka adalah manusia-manusia baik yang tidak semestinya ada pada tempat itu. 

Arjun cuma wong cilik yang tengah berupaya untuk menafkahi keluarganya, Hemant ialah staf hotel yang berdedikasi penuh pada pekerjaannya, Zahra adalah istri juga sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, dan Vasili, well… dia cukuplah kompleks. Memakan waktu cukup panjang untuk tahu apa yang membuat perangainya. 

Di dukung oleh perform menarik dari jejeran pemain – kredit istimewa patut disematkan untuk Dev Patel, Anupam Kher, Nazanin Boniadi, Tilda Cobham-Hervey, serta Amandeep Singh – kemungkinan besar buat pirsawan untuk bersimpati pada beberapa korban dan mengutuk keras tindakan beberapa teroris yang pada satu titik sempat membuat saya terenyuh.  

Ya, saya berkaca-kaca dalam satu adegan menelpon yang buka bukti Imran dalam bertindak sebagai algojo. Tanpa sudah sempat disadari, Imran bersama dengan komplotannya pun sebetulnya adalah korban yang buat jadi pion oleh beberapa pihak mempunyai kebutuhan dengan iming-iming uang dan surga (baca: jihad). 


Sesudah pirsawan tahu satu dua tentang beberapa tanda, si pembuat film waktu itu pun memberi kita dengan menu penting berupa rekonstruksi tragedi kemanusiaan di kota Mumbai. 

Penembakan untuk penembakan disusul oleh ledakan untuk ledakan membuat teror untuk mereka yang ada pada tempat dan waktu yang salah, buat penduduk di tempat yang lihat huru-hara melalui siaran berita di tv sekalian harap-harap cemas pada keselamatan kerabat, serta untuk mereka yang lihat Hotel Mumbai di layar-lebar. 

Anthony Maras berusaha untuk seautentik mungkin dalam mengkreasi peristiwa ini yang berarti adegan kekerasannya ditampilkan dengan cukup eksplisit untuk bikin perasaan tidak nyaman di hati pirsawan. 

Tidak terhitung berapakah kali saya sempat memalingkan pandangan dari monitor (bahkan ada kalanya tutup telinga) sebab berasa terganggu dalam lihat kekejian beberapa teroris waktu mengakhiri korban-korbannya. Rasa-rasanya ingin sekali mengutuk si dalang yang automatis perlihatkan bila si pembuat film telah sukses menunaikan tugasnya untuk menyampaikan pesan anti terorisme. 

Pirsawan dapat tahu bila sejumlah besar korban adalah sebagian orang tidak bersalah yang sebetulnya bukan arah penting, pirsawan bisa lihat sebesar apa dampak yang disebabkan oleh aksi keji tidak bertanggungjawab ini. 

Dalam hubungan dengan Hotel Mumbai jadi produk dari dunia hiburan, pirsawan dapat rasakan berbagai tipe emosi waktu lihat tontonan yang turut memprioritaskan pada aksi heroik staf hotel yang penuh dedikasi ini. Dari mulai berdebar-debar, lalu menahan nafas, sampai akhirnya menangis sesenggukkan di penghujung waktu.

Review dan Nonton Film 2019 : THE HIGHWAYMEN (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE HIGHWAYMEN (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE HIGHWAYMEN (2019)


Penjelasan Roger Ebert di tahun 1967 mengenai Arthur Penn “Bonnie and Clyde” ialah tonggak masukan film, satu tulisan yang minta pembaca untuk ikut serta dengan satu film dalam soal apa yang dikatakannya mengenai penduduk, bukan pada periode dimana film itu dibikin tapi masa dimana dia launching. 

Saya pikirkan film itu serta penjelasan Roger mengenai film itu seringkali saat “The Highwaymen” karya John Lee Hancock, yang disiarkan perdana di South by Southwest malam hari ini sebelum peluncuran Netflix pada 29 Maret. 

Jelas adalah tandingan buat beberapa komponen film Penn, karya Hancock nampaknya mengkritik ide bahkan juga membuat film mengenai monster seperti Bonnie Parker serta Clyde Barrow. 


Ia kembali seringkali dengan ide jika beberapa pembunuh ini jadi superstar serta mengenalkan film dengan bercerita cerita bagaimana Gladys Hamer, janda satu diantara pria yang menembak Bonnie serta Clyde, menuntut Warner Bros atas bagaimana suaminya dilukiskan dalam film itu. film pertama. 

Perasaan jika "The Highwaymen" ditujukan menjadi "korektif" untuk film Penn berterus-terang menggelikan serta mewajibkan seorang untuk salah membaca kemauan Penn dengan pekerjaan itu. Serta perasaan mengutamakan diri pribadi yang cukuplah memberatkan "The Highwaymen" hingga terbenam dibawah desakan itu menjadi "cerita riil" yang perlu kita lihat. Sebab diambil murni menjadi studi ciri-ciri serta basis untuk sepasang aktor hebat, "The Highwaymen" kerja. Tetapi Anda mesti lupa jika itu mengenai Bonnie serta Clyde untuk sampai kesana, yang membuat jadi seperti misil yang tragis. 

Pada tahun 1934, Frank Hamer (Kevin Costner) berumur 50 tahun, yang cukup seperti berumur 80 tahun pada tahun 2019. Dia siap melakukan beberapa tahun emasnya bersama dengan istrinya Gladys (Kim Dickens) serta babi peliharaannya saat gubernur Texas Ma Ferguson (Kathy) Bates) jadi meyakini jika hanya satu langkah untuk hentikan mengamuk multi-negara dari Bonnie serta Clyde dengan me-reboot Rangers. 


Mereka memberikan keyakinan Hamer untuk keluar dari waktu pensiun, serta ia pergi serta mengambil seseorang partner lama bernama Maney Gault, yang hidup di pinggir kemiskinan bersama dengan putri serta cucunya. Dinamika rekan lama jelas: Hamer ialah pemimpin serta Gault ialah pembicara. Mereka pergi untuk hentikan Bonnie serta Clyde, mencari mereka lewat Tenggara saat kejahatan mereka bersambung. 

Meremehkan film Penn (yang 2x lebih susah sebab kita belum pernah betul-betul lihat Bonnie serta Clyde untuk sejumlah besar film ini, sangat mungkin kita untuk memikirkan Warren Beatty serta Faye Dunaway dalam pikiran kita), "The Highwaymen" dapat jadi prosedural yang solid, satu film yang tawarkan tandingan faktual untuk mitos. 

Ada fungsinya diingatkan jika beberapa orang yang tangkap pembunuh berantai belum pernah memperoleh perhatian yang sama juga dengan beberapa pembunuh tersebut, tapi pendekatan Hancock cukuplah salah. Kami hampir tidak memperoleh detil mengenai bagaimana Hamer serta Gault lakukan pekerjaan mereka. 

Saya senang mekanisme polisi yang baik, serta rincian mengenai bagaimana kita temukan dari pensiunan di pintu Ranger sampai ranger itu jadi satu diantara orang yang memompa beberapa puluh peluru ke Bonnie serta Clyde bisa membuat project yang menarik, tapi "The Highwaymen" bukan project itu. 

Hancock serta penulis John Fusco tambah lebih tertarik pada foto-foto panjang negara langit besar serta pendapat komentar mengenai bagaimana penjahat jadi selebriti dibanding mereka dengan detil. Hamer terlihat seperti type pria "cuma bukti, nyonya" hingga 2x lebih memilukan jika film mengenai dianya tidak bisa menggambarkan hal tersebut, begitu terobsesi untuk coba membuat simbol serta citra sendiri untuk terasa asli. 


Apa yang membuat "The Highwaymen" begitu menyedihkan ialah jika dua karya ciri-ciri yang solid disemayamkan dalam pembuatan film. Saya sudah lama temukan Costner menjadi aktor yang disepelekan, serta ia memperoleh sikap yang kaku serta tidak emosional yang berefek pada orang pria yang sudah lihat lebih dari sebatas sisi kekerasan yang adil. Itu hampir begitu prima dari satu pertunjukan, tapi saat film itu terbang ke hawa yang tidak penting dari kebutuhan diri pribadi, ada suatu yang membumi mengenai hal tersebut yang membawanya kembali pada Bumi. 

Orang dapat berargumen jika Harrelson bisa lakukan pesona Selatan seperti ini dalam tidurnya, tapi itu tidak membuat kurang menghibur. Bila cuma ke-2 pria dilawan oleh skenario yang lebih susah serta berlapis sebab mereka cukuplah lakukan apa yang mereka beri di sini untuk menunjukkan jika mereka akan dapat melawan rintangan. 

Selanjutnya, "The Highwaymen" memperingatkan seorang jika seni yang baik tidak bisa dibikin menjadi koreksi pada seni yang lain. Bila "The Highwaymen" barusan jadi hiburan kuno atau bahkan juga studi ciri-ciri, itu dapat sukses, tapi orang akan terasa seperti mereka bila mereka lihat dengan keras di mil jalan dalam film ini jika mereka akan lihat Hancock menggenggam sinyal yang menjelaskan , "Ini ialah cerita riil Bonnie serta Clyde." Arthur Penn. 


Review dan Nonton Film 2019 : TRADING PAINT (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : TRADING PAINT (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : TRADING PAINT (2019)


Saat sekian tahun, pengagum film ingin lihat Michael Madsen serta John Travolta merubah ciri-ciri mereka Vic serta Vincent Vega, saudara kriminil dalam film Quentin Tarantino semasing "Reservoir Dogs" serta "Pulp Fiction". 

Telah lama semenjak Tarantino Omniverse di panggil dengan serius, tapi ciri-ciri yang berkali-kali serta tumpang tindih dalam film yang ditulis serta disutradarai oleh Tarantino ialah perihal yang menyenangkan untuk beritakan. Serta Madsen sudah mengatakan jika Tarantino miliki inspirasi untuk menyatukan ciri-ciri walau umur mereka telah lanjut. 

Tetapi itu belum berlangsung serta menjadi alternatifnya Madsen serta Travolta berjumpa di dirt-racing film "Trading Paint." Film ini diawali di track Talladega, saat Cam Munroe muda (Toby Sebastian) menantang Bob Linsky (Madsen). 


Penyiar lomba, kedua-duanya yang nama belakangnya harusnya "Eksposisi," menerangkan jika Cam ialah putra manajer track Sam "The Man" Munroe, yang sempat jadi saingan sangat seru Linsky. (Tembakan lalu dimana Travolta membuat pergerakan lengan menyapu serta berseru "F *** ing Linsky" mesti dibikin jadi GIF.) 


Ini kelihatannya permasalahan yang dapat dipecahkan, tapi nampaknya dengan Sam yang bertanggungjawab atas karir Cam, itu tidak dapat ditangani. Dalam kilas balik kita tahu kenapa Sam sendiri tidak balapan : sebab ia ialah pengemudi yang mengerikan yang membunuh ibu Cam dalam kecelakaan mobil. 

Tujuan saya, bukan itu yang ingin dipercayai oleh film tapi tunjukkan pada kita: kecelakaan yang betul-betul bisa dijauhi sebab Sam pilih untuk bercumbu dengan istrinya dibanding masih memandang jalan. 

Ia nampaknya sudah belajar untuk ambil langkah ini dengan tenang dalam banyak hal sebab adegan selanjutnya tunjukkan ia di lubang memancing asmara dengan seseorang wanita yang terlihat begitu mengerikan seperti Shania Twain. Perlu sesaat untuk mengerti jika ia sebetulnya IS Shania Twain, sebab saya awalannya berfikir "Untuk apa Shania Twain memerlukan perusahaan sewaan semacam ini?" Mungkin ia betul-betul ingin berjumpa dengan Travolta. 

Bagaimana juga, "ular" Linsky tawarkan Cam peluang untuk mengemudi untuk dia alih-alih ayahnya. Ia janji untuk betul-betul memberikannya mobil yang berperan. Memikirkan. Serta ia mengerjakannya. Tetapi Sam tidak mengerjakannya dengan baik. 


Ia minta Shania Twain untuk bicara dengan anak itu. Serta jelaskan apa? Travolta yang gusar. Serta ia begitu jengkel hingga ia dapat balapan sendiri. Anda tidak pernah menerka, saya meyakini. 

Saat satu perlombaan mengadu ketiganya dengan kecepatan keduanya, penyiar track yang suka dengan paparan itu menjelaskan mengenai Sam: "Jadi saat ini ia bercampur dengan opera sabun hilang ingatan yang membuat putranya, Cam, membalap untuk saingan lamanya, Bob Linsky. 

Apes, Anda tidak dapat menulis ini lebih baik. "Saya memberikan banyak pujian pada penulis skenario Gary Gerani serta Craig R. Welch sebab cojones mesti ikut serta dengan beberapa pengulas film semacam itu. Tapi untuk tidak hal-hal lain. 


Review dan Nonton Film 2019 : FRIEND ZONE (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FRIEND ZONE (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FRIEND ZONE (2019)


Friend Zona menceritakan mengenai hubungan persahabatan yang tersambung pada Gink (Pimchanok Luevisadpaibul) dan Palm (Naphat Siangsomboon). Palm sebenarnya telah menyimpan perasaan cinta pada sahabatnya itu semenjak di bangku kuliah. 

Tapi perasaan itu kenyataannya hanya bertepuk samping tangan karena Gink hanya tertarik untuk buat jadi Palm jadi teman dekat dimana ia dapat berkeluh kesah mengenai masalah hidup, termasuk masalah asmara yang masih ia jumpai waktu tengah merajut hubungan asmara dengan pria yang lain. 


Waktu hubungan asmara yang dijalin Gink dengan kekasih terakhirnya, Ted (Jason Young), juga terjerembab dalam persoalan serta usai, Palm mulai menjelaskan perasaannya yang sebetulnya pada Gink dan meminta gadis itu untuk memandangnya bukan hanya untuk seorang sahabat. Satu kemauan yang, apesnya, justru tidak di terima oleh Gink karena ia melihat hubungan asmara dirinya dengan Palm hanya akan menyebabkan rusaknya persahabatan erat yang telah tersambung pada keduanya sejauh ini. 

Mereka yang telah familiar dengan formula pengisahan yang seringkali dikasihkan oleh film-film yang diproduksi oleh GDH 559 seperti One Day (Banjong Pisanthanakun, 2016) atau Brother of the Year (Vithaya Thongyuyong, 2018) jelas dapat dengan mudah untuk memahami perjalanan narasi yang dikasihkan oleh Friend Zona. 


Naskah cerita film yang ditulis oleh sutradara film ini, Chayanop Boonprakob (SuckSeed, 2011), dengan Pattaranad Bhiboonsawade dan Thodsapon Thiptinnakorn (May Who?, 2015) memang menawarkan satu penambahan narasi dari premis yang termasuk juga demikian sederhana. 

Naik turunnya perjalanan hubungan pada beberapa ciri Palm dengan beberapa ciri Gink dalam usahanya untuk menyampaikan dan perlihatkan perasaan cintanya pada sahabatnya sendiri itu bahkan cenderung sering terasa repetitif waktu film ini terasa memaksakan diri untuk tampil bercerita sampai 118 menit. Tapi, tentu saja, juga seperti film-film buatan GDH 559 yang lainnya, Friend Zona menawarkan banyak daya tarik yang akan membuat masing-masing penontonnya jatuh hati dengan mudah. 

Jalinan narasi yang dibikin Boonprakob, Bhiboonsawade dan Thiptinnakorn menghadirkan observasi hubungan persahabatan dan asmara yang cukup hangat pada ke-2 ciri-khasnya. Ke-2 beberapa ciri dikasihkan ruang yang sama kuat untuk buat jadi mereka tampil jadi dua profil beberapa ciri yang mudah untuk disukai juga sekaligus dimengerti. 

Karakter-karakter partisipan yang tampil di linimasa pengisahan film juga sukses tingkatkan warna yang menarik – walaupun biasanya diantara beberapa ciri itu tidak mendapatkan sisi cerita yang baik. Elemen komedi yang tetap ada pada barisan dialog dan beberapa permusuhan juga bisa dikerjakan dengan mulus – fresh, menghibur, dan betul-betul tidak pernah terasa dipaksakan hadirnya. 


Pengarahan Boonprakob juga berjalan dengan baik. Walaupun ada dengan balutan permusuhan yang cenderung sederhana, Boonprakob bisa mengatur irama pengisahan film dengan nada yang teratur dengan bagus sampai jauh dari beberapa kesan datar dan membosankan.menjengkelkan. 

Friend Zona juga jelas tidak bisa mengalun dengan lancar tanpa kehadiran penampilan bagus dari ke-2 pemeran utamanya, Luevisadpaibul dan Siangsomboon. Jadi pasangan sahabat, keduanya sukses tunjukkan chemistry yang demikian memberi kepercayaan. 

Momen-momen terbaik dalam film ini ada waktu ke-2 beberapa ciri yang dimainkan Luevisadpaibul dan Siangsomboon saling bercengkrama kedua-duanya. Beberapa pengisi departemen akting yang lain juga tampil tidak memilukan dengan Nutthasit Kotimanuswanich, Sukhapat Lohwacharin, dan Benjamin Joseph Varney tampil ambil perhatian dengan momen-momen komikal mereka waktu melakukan tindakan jadi tiga orang pria yang bernasib sama dengan beberapa ciri Palm yang hanya dilihat seperti sahabat oleh profil yang sebenarnya mereka sukai. Satu presentasi komedi romansa yang cukup menyenangkan. 


Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)


Bagaimana jadinya bila kenyataannya sejauh ini superhero dan supervillain yang kita kenal melalui komik benar-benar ada? Mereka adalah orang yang kita jumpai di jalanan, mereka adalah orang yang kita kenal, dan bahkan, mereka adalah keluarga kita. 

Mereka bertindak seperti orang biasanya karena mereka belum memahami potensi yang dimiliki dan melihat cerita dalam komik cuma imajinasi dari seorang pencerita ulung alih-alih merepresentasikan peristiwa riil. Melalui Unbreakable (2001), M. Night Shyamalan yang dijuluki jadi “ahli twist” mengeksplorasi pengandaian ini jadi satu narasi yang waktu itu termasuk juga ciamik sampai disebut mendeskrontruksi type superhero. 


Tidak ada pahlawan berjubah yang perkasa dan bisa diandalkan kapanpun, si pembuat film justru menyodorkan cerita berpendekatan sesuai dengan fakta dengan beberapa ciri penting seorang pria paruh baya yang tidak paham menahu mengenai jati dirinya. Mengingat Shyamalan tidak sudah sempat sesumbar permasalahan origin story dari superhero, set pengungkapan dari tontonan thriller ini memberikan kejutan tersendiri. 

Begitu juga dengan Split (2017) yang kenyataannya oh kenyataannya bukan psychological horror biasa karena ini ialah kelanjutan ‘tersembunyi’ dari Unbreakable yang menaruh konsentrasi pada lahirnya seorang supervillain. 

Berkenaan sang sutradara telah miliki mimpi dari sejak lama untuk mengkreasi satu trilogi berbasiskan cerita kepahlawanan, jadi kesuksesan besar Split dimanfaatkannya jadi jalan untuk mewujudkan set ke-3 bertajuk Glass yang dijagokan memiliki showdown epik. Tapi bisakah pernyataan ini disadari? 


Dalam Glass, pirsawan 1x dipertemukan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy) yang mempunyai 24 kepribadian termasuk “The Beast” yang buas bak hewan liar, lalu David Dunn (Bruce Willis) yang tubuhnya tahan banting serta bisa tahu waktu lalu seseorang melalui sentuhan tangan, dan Elijah “Mr. Glass” Price (Samuel L. Jackson) yang tulang-tulangnya mudah patah. 

Ke-3 beberapa ciri ini selanjutnya saling bergesekan setelah mereka ditempatkan pada sebuah rumah sakit jiwa dimana Elijah telah tempati tempat itu sejak penghujung narasi Unbreakable. David yang sejauh ini bergerilya dalam menjalankan tugasnya jadi penghilang kejahatan turut ditangkap usai dirinya dijumpai tengah berlaga melawan Kevin dalam upayanya menggagalkan ide pembunuhan pada beberapa remaja wanita. 

Ada dua bukti yang membuat pihak berwajib ingin memutuskan untuk menahan David yang waktu dilihat seperti pahlawan; 1) dia berlagak seperti hakim tanpa diimbangi bukti kuat, dan 2) dia dilihat memiliki permasalahan kejiwaan “delusions of grandeur” sebab menjelaskan dirinya memiliki potensi melalui manusia normal. 

Dibawah pengawasan seorang psikiater bernama Dr. Ellie Staple (Sarah Paulson), ketiganya memperoleh perawatan yang memiliki arah untuk mengenyahkan pemikiran bila mereka adalah manusia-manusia perkasa. 

Memiliki arah agar ketiganya dapat bertindak seharusnya manusia normal. Di dalam usaha Ellie dalam ‘meluruskan’ pemikiran beberapa pasiennya ini, Elijah diam-diam merencanakan satu yang besar untuk buka di dunia mengenai kedatangan manusia perkasa seperti David dan Kevin. 

Jadi satu film yang disediakan jadi set paling akhir dari trilogi yang memiliki dua film kece, sayangnya Glass terasa kurang ‘wah’. Showdown epik yang dijanjikan urung ada, dan sebetulnya saya pun tidak sudah sempat berharap banyak mengingat film ini hanya memperoleh suntikan dana sebesar $20 juta yang tentunya tidak cukup mencukupi untuk mengkreasi gegap gempita. 

Ditambahkan, portofolio Pak Shyamalan dalam kerjakan film laga seperti The Last Airbender (2010) dan After Earth (2012) pun jauh dari kata menggembirakan. Lempeng selempeng lempengnya. Jadi apa masih bisa dimaksud begitu berlebihan jika saya mendamba Glass akan dikaruniai momen laga yang menyenangkan? Tentu tidak dan bila ada pirsawan yang berekspektasi demikian pula saya tidak bisa mempersalahkannya. Bagaimana tidak, Shyamalan telah sesumbar dengan mengatakan film ini jadi tontonan unik, menarik, dan tentunya, besar. 


Tiga kata ciri-ciri yang kesemuanya cukuplah kurang cocok untuk dialamatkan pada Glass. Saya tidak menjelaskan jadi sajian yang buruk toh diri ini masih cukup menikmatinya. Waktu waktu mengalun saat 128 menit – dan ini sebetulnya bisa dipangkas sekitar 20 menit tidak butuh menghilangkan esensinya – terdapat beberapa momen yang sempat membuat saya bersedia untuk letakkan atensi pada layar-lebar. Momen terbaik dalam Glass, sekurang-kurangnya untuk saya, bisa dijumpai pada belasan menit pertama waktu David selanjutnya bisa mencari kedatangan Kevin, pada pertengahan waktu dimana Ellie mengeluarkan hipotesanya di muka tiga beberapa ciri penting, dan pada set klimaks saat Elijah mulai perlihatkan ide besarnya. 

Ya, bukan waktu film dipenuhi dengan percakapan-percakapan yang kurang menarik untuk didengarkan atau waktu si pembuat film coba unjuk potensi dalam mengkreasi adegan laga yang sebenarnya “gitu doang”, Glass berada di titik terunggul waktu elemen suspense yang memang jadi keterampilan dari Shyamalan menunjukkan keberadaannya. 

Dan elemen ini dapat terdeteksi melalui momen-momen terbaik yang telah saya jelaskan yang hampir kesemuanya ada di permulaan dan penghujung film, sekejap pertengahan waktu yang kekurangan tenaga jadi seperti dongeng pengantar tidur. 

Tidak hanya kedatangan elemen suspense, tentang terbaik yang lain yang bisa dijumpai dari Glass adalah perform jejeran pemainnya yang tidak memilukan khususnya James McAvoy yang tampak bersenang-senang dengan peranannya yang sekali ini mempersilahkannya untuk mainkan makin banyak kepribadian dibanding waktu dia berlakon dalam Split. 

Bukan sekedar memprioritaskan pada gestur atau mimik muka, McAvoy turut memberi perubahan pada intonasi suara sampai pirsawan dapat tahu kepribadian mana yang tengah menukar ‘cahaya’ miliki Kevin. Sebab permainan lakon ini – oh, kredit istimewa juga patut disematkan pada Samuel L. Jackson yang membuat gregetan! – ditambah adanya daya cekam di beberapa titik sedikit banyak membantu selamatkan Glass dari kesempatan pecah berkeping-keping. Memang sih film ini tidak seunik, semenarik, serta sebesar yang dijanjikan lebih kita hidup di waktu dimana superhero movies telah demikian umum dengan jenis pendekatan. 

Tapi sekurang-kurangnya film ini masih memiliki setitik keunggulan yang membuat dapat di nikmati, sekurang-kurangnya itu untuk saya yang tidak pernah berekspektasi lebih pada Glass.


Review dan Nonton Film 2019 : THE UPSIDE (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE UPSIDE (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : THE UPSIDE (2019)


Apa kamu familiar dengan film Prancis berjudul The Intouchables (2011)? Jika tidak, dua tentang yang butuh untuk didapati mengenai film ini adalah: 1) narasinya di ide dari narasi persahabatan riil pada seorang pebisnis sukses dengan perawat pribadinya yang hadir dari strata sosial dan ras berbeda, dan 2) The Intouchables termasuk juga film yang fenomenal. Bukan hanya sukses besar di kampung halaman, tetapi turut menyebar ke sejumlah negara yang lain waktu lalu menempatkannya jadi salah satu film Prancis banyak sekali dipirsa saat hidup. 

Pencapaiannya di tangga box office – plus, film ini pula berjaya pun di ajang penghargaan termasuk mengganjar Omar Sy dengan piala Best Actor di Cesar Award (Oscar-nya sinema Prancis) – membuat The Intouchables dilirik jejeran produser yang meminta hak pembuatan.

Tidak hanya India yang sesegera memiliki dua versus dan Argentina yang telah melaunching interpretasinya pada tahun 2016 waktu lalu, Hollywood pun malas ketinggalan. 


Telah direncanakan dari sejak tahun 2012, sayangnya ada banyak ganjalan yang ikuti perjalanan remake ini dari pergantian konfigurasi kru dan pemain sampai skandal pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein (pemilik The Weinstein Company, pemegang hak remake) yang menyebabkan film bertajuk The Upside sempat terombang-ambing nasibnya. Usai diakuisisi oleh STX Films, film yang letakkan Kevin Hart dan Bryan Cranston di garda sangat depan pemain ini pula selanjutnya memperoleh kepastian rilis pada awal 2019. 

Mengingat The Upside tidak lebih dari bentuk interpretasi Hollywood untuk The Intouchables, tentu saja tidak ada perombakan berkaitan dalam hal penceritaan. Di sini, beberapa ciri utamanya tetaplah seorang pebisnis kaya raya yang alami kelumpuhan hampir di sekujur tubuh bernama Phillip Lacasse (Bryan Cranston) dan seorang sisa terpidana yang coba bertaubat bernama Dell Scott (Kevin Hart). Ke-2 beberapa ciri yang memiliki dunia, ciri-ciri, serta fisik berbeda ini berjumpa dengan tidak sengaja waktu Phillip bersama dengan sekretaris pribadinya, Yvonne (Nicole Kidman), tengah wawancarai beberapa calon yang melamar jadi perawat purnawaktu Phillip. 


Dell yang ikuti wawancara ini hanya untuk memperoleh tanda-tangan yang menjelaskan bila dia mencari pekerjaan, rupa-rupanya menarik perhatian Phillip yang melihat calon yang lain begitu serius. Dibanding hanya memberinya tanda-tangan, Phillip justru menawarkan pekerjaan buat Dell. 

Walaupun permulaannya ogah-ogahan, Dell selanjutnya menyetujui penawaran ini lebih gaji yang diterimanya lebih dari cukup untuk menebus kesalahannya pada sisa istri dan putra tunggalnya. Berkenaan Dell tidak pernah memperoleh pelatihan apapun terkait mengawasi seseorang, hari-hari pertama lakukan pekerjaan life auxiliary terasa berat buat Dell, Phillip, atau Yvonne yang berusaha keras untuk keluarkan Dell. 

Tapi seiring berjalannya waktu dimana sisi sensitif dari Dell turut mengemuka, Phillip dengan perlahan tapi pasti bisa terima kehadiran Dell dan bahkan, dia dapatkan kembali semangat hidup yang pada awalnya telah meredup saat dia memahami bila masih ada seseorang yang memandangnya jadi manusia normal. 

Bila kamu telah lihat The Intouchables – ditambahkan demikian menyukainya, seperti saya – jadi tidak ada tentang baru yang bisa didapatkan dari The Upside. Pada dasarnya ini adalah film yang sama baik dari bagian narasi atau pengadeganan, kecuali adanya beberapa penyederhanaan di ruangan permusuhan personal dan terdapatnya beberapa ciri yang melingkungi Phillip. Ya, sekalipun The Upside memiliki kurun waktu yang lebih panjang, film petunjuk Neil Burger (Limitless, Divergent) ini justru mereduksi cukup banyak hal yang membuat materi sumbernya terasa menggigit dan cuma menghadirkannya jadi satu narasi persahabatan yang generik. 

Di sini, pirsawan dikit memperoleh kesempatan untuk lihat jalinan Dell dengan keluarga kecilnya yang kenyataannya bersedia demikian saja terima kembali kehadiran Dell setelah dia membawa segepok uang (kontradiktif dengan pernyataan Phillip: money can’t buy everything), dan Phillip pun tampak demikian kesepian sampai tidak bingung jika lantas dia jadi seorang suicidal. 

Saya tidak mau tetap membandingkannya dengan versus asli, tapi betul-betul, saya rindu dengan kondisi rumah si protagonis yang guyub. Si perawat pribadi bernama Driss yang gayanya cukuplah slengean ini bukan hanya membawa perubahan pada sang atasan tetapi juga sebagian orang di sekitarnya. 


Perasaan hangat yang telah lama menghilang sejak kepergian “nyonya”, menyelimuti rumah ini. Pirsawan dapat memafhumi mengapa Driss bisa di sayangi oleh sebagian orang sangat dekat Philippe dan dapat pun mengerti mengapa dia bisa mengawasi ikatan persahabatan waktu demikian tahun dengan Philippe. Satu yang sayangnya tidak begitu bisa di rasa dalam The Upside yang tidak juga membuat saya benar-benar bisa memahami pesan yang ingin dihantarkan dibalik ikatan persahabatan dua protagonis utamanya. 

Harus diakui, Kevin Hart dan Bryan Cranston bermain bagus di sini. Hart tunjukkan bila dia juga mempunyai range emosi penuhi yang memungkinkannya bermain di type drama, sekejap Cranston di dalam semua kurangnya ruang geraknya (ciri-khasnya hanya bisa menggerakkan tubuh pada bagian kepala) dapat menyalurkan emosi melalui peralihan mimik muka dengan baik. 

Ditambahkan adanya chemistry yang bisa terdeteksi, keduanya adalah koentji buat The Upside yang alami permasalahan di bagian naskah dan penyutradaraan. Tanpa suport perform bagus ke-2 pemain ini – plus Nicole Kidman yang kentara telah berusaha maksimal dalam membawakan beberapa ciri Yvonne yang karakteristiknya ditulis begitu tipis – jadi bisa jadi film akan terasa susah di nikmati. Mereka berdua yang menyebabkan The Upside masih memiliki kandungan hiburan seperti diharapkan oleh beberapa pirsawan yang menebus ticket film ini di bioskop. 

Sekurangnya, mereka menghadirkan beberapa gelak tawa yang dipicu oleh kecanggungan Dell dalam sesuaikan dengan pekerjaan bersama dengan lingkungan barunya yang betul-betul berbeda (seperti bagaimana dia coba memahami karya seni berbentuk lukisan atau opera), lalu pandangan Dell dengan Phillip dan Yvonne yang seringkali berlawanan, sampai jalinan Dell dan Phillip jadi dua teman dekat karib baru. 

Yang begitu menyenangkan diantara semua adalah saat-saat dimana Dell membawa juga Phillip dalam serangkaian penelusuran kecil yang telah lama tidak dia dapatkan. Walaupun kesenangannya tidak tinggi karena beberapa diantaranya cuma pengulangan, kecuali adegan menyedot ganja bersama dengan (!), tapi saya masih bisa terhibur lihat adegan berkejar-kejaran dengan mobil polisi, jalan-jalan malam berekor santap makanan, serta nikmati pertunjukkan opera.


Review dan Nonton Film 2019 : JOKER (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : JOKER (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : JOKER (2019)


Film ini akan mengambil semesta yang berbeda dengan film-film DCEU pada awalnya. Mungkin ini adalah manuver yang bagus, bertepatan dengan usaha Warner Bros dan DC untuk memulai lembaran baru dengan properti superhero mereka. Sang pemeran Joker, Joaquin Phoenix jelaskan bila film ini mengambil pendekatan film indie berbujet murah alih-alih film blockbuster. Dan trailernya memang memberi tanda-tanda tentang itu. 

Tidak ada ledakan, tidak ada pertarungan bombastis. Trailer ini bermain lebih seperti drama. Di awalannya, kita lihat Arthur Fleck (Phoenix) yang demikian dekat dengan ibunya. Arthur jelaskan bila sang ibu mengajarkannya untuk selalu tersenyum. 

Tapi, dunia riil itu kejam. Waktu kerja memakai pakaian badut, anak-anak bandel mengerjainya. Waktu ia tertawa terbahak-bahak di kereta, giliran preman yang menghajarnya. 


Di satu titik, kita memandangnya bertandang ke rumah sakit jiwa Arkham. Tapi keliatannya bukan jadi pasien, meskipun salah seorang perawat (Brian Tyree Henry) sudah mulai mengamatinya. 

Seterusnya, Arthur menggila di jalanan dengan pakaian ungu dan rambut hijaunya yang ikonik. Entahlah sudah jadi Joker sepenuhnya atau belum. Yang tentu, makeup-nya berbeda dengan Joker-joker waktu kemarin. 


"Saya masih berpikir hidupku adalah tragedi," katanya. "Tapi sekarang ini saya sadar bila itu adalah komedi." 

Mainkan beberapa ciri Joker waktu penampilan legendaris Heath Ledger di The Dark Knight, terdengar seperti tentang yang mustahil. Tapi Joaquin Phoenix satu diantara aktor begitu menarik di waktu kita. 

Ia sering mainkan fungsi intens yang menyerempet sinting, sampai dengan teori sudah ngeklik dengan ciri-ciri Joker. Disaksikan dari trailer, Phoenix relatif sukses mengakhiri ciri-ciri dan mood yang cocok untuk seorang Joker. Ia bahkan cukup mempunyai prinsip dengan peranannya sampai ikhlas turunkan berat badan sampai terlihat demikian ceking. 

Ikut bermain Robert De Niro, Frances Conroy, dan Zazie Beetz. Sutradaranya sendiri adalah Todd Phillips yang lebih kita kenal jadi orang yang membuat trilogi The Hangover. Tapi ini bukan pertama kalinya ia kerjakan film yang serius, karena pada awalnya sudah ada War Dogs.

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Waktu bicara tentang tontonan percintaan untuk grup remaja yang mengambil jalan melodrama, satu tentang yang waktu itu pun terlintas di pikiran adalah formula penceritaannya yang sering seputar pada “cinta terhalang penyakit”. Satu formula yang sebetulnya classic – pertemuan pertama saya dengan topik ini dimulai dari A Walk to Remember (2001) – tapi paling akhir kembali menjumpai popularitasnya sebab sambutan hangat yang diterima oleh The Fault in Our Stars (2014). 

Kita berkesempatan memperoleh sajian tearjerker yang bagus melalui Me and Earl and the Dying Girl (2015) bersama dengan Me Before You (2016), tapi ada pula yang menggoreskan beberapa kesan kurang menyenangkan seperti Everything Everything (2017). 

Berkenaan judul-judul itu kenyataannya tunjukkan bila narasi cinta yang mendayu-dayu masih demikian disukai oleh publik, jadi tentu saja sineas Hollywood pun tidak berhenti untuk menyuguhkannya dalam tempo dekat ini. Bisa dibuktikan, kita lantas diberikan Five Feet Apart yang menghadapkan “penyakit mematikan” dengan “percintaan” pada suatu komune. 

Melalui film yang seringkali saya kata Pacar Lima Langkah dalam beberapa pembicaraan dengan kawan dekat ini (terdengar lebih manis, kan? ), pirsawan bukan hanya dipertemukan dengan satu pasien penyakit mematikan saja tetapi ada tiga. Salah duanya mengikutkan beberapa ciri protagonis film yang tengah dimabuk cinta sampai mesti diri ini pula waktu itu pun ingat pada The Fault in Our Stars. 


Ya, seperti dalam film rekonsilasi dari novel John Green itu, Five Feet Apart pun menghadirkan narasi cinta yang mengamini lirik lagu Rihanna: we found love in a hopeless place. Si beberapa ciri wanita adalah Stella Grant (Haley Lu Richardson) yang menanggung derita cystic fibrosis (atau CF, satu penyakit yang merubah kemampuan paru-paru sebab produksi lendir terlalu berlebih) dari sejak kecil, sekejap si beberapa ciri lelaki adalah Will Newman (Cole Sprouse) yang akhir-akhir ini terserang CF dengan tipe infeksi bakteri yang berbeda. Mereka dipertemukan pada suatu rumah sakit dimana keduanya lakukan perawatan untuk mengobati penyakit semasing. 

Stella yang mengisi waktu luangnya dengan kerjakan konten vlog untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit yang dideritanya ini awalannya abai pada kehadiran Will. Ditambahkan, mereka dilarang untuk berdekatan (jarak minimum diantara mereka adalah enam kaki!) ditambahkan kerjakan kontak fisik karena miliki kekuatan untuk menjadi memperburuk kondisi keduanya. 

Tapi semua perlahan mulai berubah setelah Stella dibikin gemas dengan sikap Will yang cenderung cuek dengan kondisinya sendiri. Stella yang memiliki obsesi pada kedisiplinan ini pula ingin memutuskan untuk membantu Will agar lebih disiplin dalam ikuti pengobatan. 


Will tidak keberatan, namun dengan satu pra-syarat yakni Stella bersedia dilukis. Persetujuan ini disanggupi oleh Stella waktu lalu membawa keduanya pada pertemuan untuk pertemuan yang dengan perlahan tapi pasti turut menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka. 

Sebetulnya, saya sukses dibuai oleh Five Feet Apart pada satu jam pertama. Mengalun dengan tenang dan letakkan latar penceritaan sepenuhnya di rumah sakit, film panjang perdana Justin Baldoni (bintang penting di serial Jane the Virgin) ini tidak sudah sempat sekalipun menjelma jadi dongeng pengantar tidur. 


Kemampuan bagus dari tim tata artistik bersama dengan sinematografer kemungkinan besar rumah sakit tampak seperti satu penginapan dengan fasilitas bintang lima alih-alih terlihat bak rumah sakit yang menguarkan nuansa menjemukan.menyebalkan. Ditambah lagi, Five Feet Apart turut di dukung oleh perform ke-2 pelakon utamanya yang cemerlang. 

Haley Lu Richardson tampil enerjik jadi Stella yang memiliki sikap penuh optimistis dan seringkali menebar keceriaan pada sebagian orang di sekitarnya terutamanya dua sahabat sebaiknya; Poe (Moises Arias) yang menanggung derita CF dan Barb (Kimberly Hebert Gregory) yang merawatnya, sekejap Cole Sprouse laris slengean jadi Will yang tidak sudah sempat ragu-ragu mengambil peluang sebab dia melihat “hidup demikian singkat untuk dihabiskan dengan kekhawatiran”. 

Berkenaan beberapa tanda dilukiskan mempunyai perilaku positif, jadi mudah untuk saya untuk bikin ikatan emosi dengan keduanya. Dibanding bersungut-sungut meratapi derita, keduanya pilih untuk menantangnya dengan kepala tegak. Saya senang pada bagaimana Five Feet Apart coba menghantarkan pesan pemberi kemauan mengenai bersyukur, menghargai hidup, sampai nikmati masing-masing hembus nafas dari jalinan dua protagonis. Terasa menghangatkan juga sekaligus mendamaikan hati. 

Untuk sesaat, saya menduga Justin Baldoni akan patuh pada nada penceritaan yang menjelaskan optimisme dalam melantunkan Five Feet Apart. Tapi sebetulnya, dia pilih untuk membelokkannya dengan demikian ekstrim ke mode melodrama yang termasuk juga ngoyo. 


Sesudah beberapa adegan kencan yang tersaji manis (favourite dengan pribadi adalah waktu mereka ‘bergandengan’ menggunakan penghubung tongkat), si pembuat film tidak disangka memutarbalikkannya melalui satu tragedi yang menghenyakkan semua beberapa ciri. 

Saya sempat dibikin berkaca-kaca olehnya dan timbulnya adegan ini pula sebetulnya tidak terelakkan untuk memberi penekanan pada pergolakan emosi si beberapa ciri penting. Namun, saya berasa demikian terganggu dengan rentetan adegan yang mengikutinya. 

Ini, waktu kamu memiliki persoalan demikian serius dengan paru-paru, akankah kamu bertindak nekat dengan berjalan kaki sejauh 3 km waktu malam hari yang bersalju? Akankah kamu rebahan waktu sekejap di atas tumpukan salju? Akankah kamu bertindak tidak bertanggungjawab dengan bermain-main di atas danau yang membeku walaupun sebetulnya sangat jelas bila ini berefek? Bila beberapa ciri terkait bersungguh-sungguh dengan pengakuannya yang berbunyi “aku ingin hidup!”, jadi kegilaan-kegilaan ini tentu tidak seharusnya ditangani. Ada langkah-langkah untuk mengundang air mata dan entahlah mengapa Five Feet Apart justru mengambil langkah yang demikian mengejek akal sehat pirsawan dan membuat ke-2 beberapa ciri utamanya tampak demikian kurang pandai. 

Air mata yang sebelumnya sudah siap bercucuran pun waktu itu pun ingin memutuskan untuk kembali ke aslinya. Ingin memutuskan untuk menyesali ketentuannya karena telah menunjukkan diri. Jika saja Five Feet Apart tidak mempunyai satu jam pertama yang hangat dan manis, mungkin air mata itu benar-benar tumpah. Bukan karena sulit, tapi karena pikirkan uang dan waktu yang telah terbuang sia-sia.