Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : CAPTAIN MARVEL (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : CAPTAIN MARVEL (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : CAPTAIN MARVEL (2019)


Siapa diantara kalian yang bersuka cita menyambut kehadiran Captain Marvel? Jadi seseorang yang ikuti Marvel Cinematic Universe (MCU) sejak sebelumnya dan paling akhir dibikin tertambat oleh bangunan semestanya yang memesona, saya jelas suka dengan timbulnya Captain Marvel. Ditambahkan, film petunjuk Anna Boden dan Ryan Fleck (Half Nelson, It’s Kind of a Funny Story) ini menandai untuk pertama kalinya MCU mempunyai film solo buat superhero wanita. 

Mereka sudah memiliki tiga superhero wanita yang terhimpun dalam Avengers yakni Black Widow, Scarlet Witch, dan Gamora. Tetapi tidak seperti beberapa pria perkasa di semesta yang sama, ketiganya belum memiliki film tunggal termasuk Gamora yang perlu sharing jatah narasi dengan keempat rekannya dalam Guardians of the Galaxy. 


Penantian panjang untuk lihat MCU ikuti jejak tetangga samping yang sudah lebih dulu persembahkan Wonder Woman (2017) – yang kenyataannya lebih dari hanya representasi gender dalam sinema Hollywood – selanjutnya hadir di momen-momen genting. Mengapa saya menjelaskan demikian? Well, jika kamu sudah lihat Avengers: Infinity War tentu tahu bila nasib beberapa pahlawan di semesta bentukan Marvel Studios ini tengah berada di ujung sundul. 


Melalui satu post credits scene diantara end credit film itu, pirsawan dikabarkan bila bala pertolongan akan didapatkan dari beberapa ciri dengan lambang bintang atau dalam kata yang lain: Captain Marvel. Ini satu diantara bukti waktu lalu membuat saya (dan mungkin juta-an pirsawan yang lain) semangat menantikan Captain Marvel. 

Berkenaan pirsawan belum pernah berjumpa dengan si beberapa ciri tituler pada awalnya, jadi tentu saja Captain Marvel dipakai jadi origin story. Di sini, pirsawan bukan hanya berkesempatan untuk melongok waktu lalu dari profil dibalik pakaian berwarna merah biru yaitu Carol Danvers (Brie Larson), tetapi juga cikal akan terbentuknya Avengers. Menerapkan guliran pengisahan yang sering non-linear untuk mengutamakan misteri, kita langsung dipertemukan dengan Carol yang kenal dirinya jadi Vers. 

Salah satu personil dari pasukan elit di Planet Hala, Starforce, yang tengah di turunkan dalam misi selamatkan seorang mata-mata bangsa Kree dari cengkraman pihak musuh yakni group alien dengan kekuatan berubah bentuk, Skrull. Menurut pandangan Vers yang tidak bisa sedikitpun mengingat waktu lalunya, Kree adalah bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sekejap Skrull ialah pihak yang seharusnya diperangi. 

Pemikiran yang ditanamkan oleh sang tutor, Yon-Rogg (Jude Law), ini tetap disadari oleh Vers sampai lantas dia ditangkap beberapa kumpulan Skrull dalam misi penyerbuan yang usai kegagalan. Alih-alih diinterogasi dengan beradab, Vers justru disiksa dengan cara mengacak-acak memorinya. 

Vers yang memiliki kekuatan berlaga diatas rata-rata ini tentu saja memberontak waktu lalu mendorongnya untuk melarikan diri ke Bumi dimana dia bertemu dengan agen S.H.I.E.L.D. bernama Nick Fury (Samuel L. Jackson) yang masih bermata lengkap. Di dalam upayanya jauhi kejaran bangsa Skrull dengan agen Fury, Vers dengan perlahan tapi pasti mendapatkan ingatannya kembali waktu dia dalami lebih jauh mengenai mesin berkecepatan cahaya yang tengah dicari oleh kelompok Skrull. 


Pilihan kreatif itu tentu tidak ada salahnya. Tapi tulisan naskah bersama dengan penyampaian ganda sutradara waktu lalu membuat bubuhan misteri tidak semenggigit seperti diharapkan. Sebagian besar pirsawan yang jeli pastinya tahu mengenai muka sebetulnya dari Kree (sempat disinggung di Guardians of the Galaxy) dan informasi terkait jati diri asli Vers juga telah jadi rahasia umum, jadi kejutan ditambah lagi yang ingin disediakan? Arah saya, tidak ada salahnya bercerita dengan konvensional karena keterangan cukuplah belibet seperti ini termasuk juga berpengaruh. 

Dan memang, ketentuan Boden-Fleck untuk mengutamakan misteri justru mereduksi dua tentang yang semestinya ialah komponen andalan mereka: karakterisasi dan hati. Entahlah, tapi saya kurang bisa kenal Carol Danvers dalam tempat ini. Saya mengerti dengan motivasinya, tapi saya tidak sudah sempat benar-benar tersambung dengannya. Jejeran set hidup yang efektif menguraikan permasalahan karakterisasinya hanya dipertunjukkan melalui kilasan-kilasan ingatan tanpa sudah sempat digali mendalam termasuk permasalahan persahabatannya dengan Maria Rambeau (Lashana Lynch). 

Ada satu adegan dimana moment of truth selanjutnya hadir, tapi saya justru tidak rasakan apa-apa sekejap si pembuat film telah mengondisikan agar tercipta kondisi sendu yang mengundang air mata. Apa hati ini telah demikian beku atau cuma karena saya tidak pernah lihat keakraban Carol-Maria lebih intens sampai urung menginvestasikan emosi? Rasa-rasanya faktor ke-2 adalah pemicunya karena bisa dibuktikan saya masih bisa berkaca-kaca lihat tribut untuk Stan Lee yang diselipkan ke logo Marvel di permulaan waktu. 

Yang seterusnya membantu selamatkan muka Captain Marvel dan menghindarkannya dari penurunan adalah perform jejeran pemainnya yang demikian baik. Mesti diakui, Brie Larson yang didapuk melakonkan si beberapa ciri tituler ialah salah satu potensi penting yang dipunyai oleh Captain Marvel. 

Jangkauan emosinya termasuk juga luas yang turut mencakup kecakapannya dalam ngelaba, begitu juga dengan karismanya yang memancar kuat sampai pirsawan dapat juga diyakinkan bila Carol Danvers adalah sesosok pahlawan yang bisa diandalkan oleh penduduk bumi. Permainan lakon Brie Larson tersebut waktu lalu membantu mewarnai pada beberapa ciri Carol Danvers yang sebetulnya datar-datar saja. Dengan Samuel L. Jackson, aktris penggenggam piala Oscar sebab permainan emosionalnya di Room (2015) ini membuat satu chemistry lekat ala buddy cop movies yang memunculkan kesenangan tersendiri buat film. 

Jujur saja, jalinan pada Carol dengan Nick Fury adalah satu bukti yang lain yang membuat saya bisa semangat juga sekaligus tergelak-gelak lihat Captain Marvel. Tektokan keduanya terbentuk dengan alami dengan disisipi humor cukup pandai waktu lalu membuat jejeran momen menyenangkan di beberapa titik waktu. Ditambahkan kehadiran kucing imut-imut menggemaskan bernama Goose, saya pun memperoleh kompensasi atas kekesalan pada guliran pengisahan (meliputi villain yang kekuatannya begitu berlainan) yang lunglai bersama dengan gelaran laga yang terasa kurang ramai walaupun sebetulnya jejeran pemain telah berlatih mati-matian untuk mempersiapkan fungsi mereka. 

Mungkinkah ini disengaja oleh pihak Marvel Studios agar film ini tidak menutupi pamor Avengers: Endgame yang dijagokan jadi jilid terakbar dalam MCU? Mungkin. Yang tentu, sekalipun ada perasaan gregetan karena Captain Marvel kesulitan penuhi potensinya, sekurangnya saya masih dibikin terhibur olehnya.