Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : CALON BINI (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : CALON BINI (2019)

Kadang satu film justru sampai kekuatan terbaik waktu ada apakah yang ada. Tekad untuk tampil “lebih” seringkali jadi batu sandungan berefek. Demikian pula Calon Bini. Percintaan mustahil pada pembantu dan majikan entahlah sudah berapakah kali buat jadi basic jalinan narasi bertajuk “Cinderella story”, tapi pesonanya tidak luntur, sebab sejak zaman nenek moyang, ialah kewajaran jika seseorang mendambakan pasangan yang didambakan. Alih-alih mengawasi kesederhanaan itu, Calon Bini memaksakan diri menyelipkan isu sosial tanpa disertai kualitas serta bekal pandangan memadahi terhadapnya. 

Isu yang coba diangkat tidak yang lain mengenai persepsi kolot masyarakat tentang kodrat wanita, khususnya wanita desa. Sesudah lulus SMA, Ningsih (Michelle Ziudith) si gadis dari Bantul, berkeinginan melanjutkan kuliah sampai S2, meskipun perekonomian keluarganya pas-pasan. Ke-2 orang tuanya, Maryadi (Marwoto) dan Ngatinah (Cut Mini), hanya buruh tani. Sekejap pakliknya, Agung (Ramzi) berkemauan menjodohkan Ningsih dengan Sapto (Dian Sidik) si putera Pak Kades (Butet Kartaredjasa), untuk mengejar harta dan jabatan. 

Tidak ada yang mempedulikan bukti bila Ningsih malas menikah, ditambah lagi Sapto. Sebab, biasanya masyarakat di desa memang masih beranggapan bila sekurangnya, pasangan kita wangun dijak njagong (pantas dibawa ada pesta pernikahan). Pengucapan seperti itu sering saya dengar di lingkungan sekitar rumah sampai sekarang ini. 



Tapi Ningsih kuat pada pendirian, lalu ingin memutuskan pergi ke Jakarta di hari lamaran. Tanpa memberi tahu keluarganya, ia kerja jadi pembantu dalam tempat tinggal Pak Prawira (Slamet Rahardjo) dan Bu Andini (Minati Atmanegara). Dari sinilah paparan mengenai “wanita mempunyai hak mengejar cita-cita” mulai mempunyai permasalahan, persisnya demikian Ningsih bertemu Oma ( Niniek L. Karim), yang telah lama mengurung diri, berasa kesepian setelah ditinggal si cucu tunggal, Satria Bagus (Rizky Nazar) berkuliah ke luar negeri. 

Sebelum membahas persoalan seputar naskahnya, izinkan saya mengutarakan perasaan ganjil lihat Niniek L. Karim mainkan mertua Slamet Rahardjo yang notabene hanya lebih muda 7 hari, juga sekaligus ibunda Minati Atmanegara yang berselisih 10 tahun dengannya. Itu sama pula seperti Vanesha Prescilla jadi mertua Iqbaal Ramadhan alih-alih kekasihnya. 

Kembali ke jalan, demikian terpikatnya Oma pada Ningsih, ia berkeinginan menjodohkannya dengan Satria. Saat bersamaan, Ningsih sebetulnya telah jatuh hati pada profil bernama Jejak Langkah yang tulis kalimat-kalimat pemberi semangat buat dia melalui Instagram, saat sebagian orang seringkali melemparkan komentar bernada miring terkait keinginan Ningsih. 

Kita tahu siapa Jejak Langkah sebenarnya. Kita tahu ia bukan si pria asing (Antonio Blanco Jr.) yang dijumpai Ningsih di kereta. Tapi bukan itu persoalan terbesarnya. Bukan pun ketidakwajaran banyaknya cercaan di Instagram Ningsih (bukan meremehkan cyberbullying, tapi betul-betul, pernahkah anda lihat akun beberapa pengikut sekitar 100 terima komentar negatif kejam seputar itu?), tapi bagaimana Calon Bini mengkritik permasalahan “wanita yang penting menikah” dan perjodohan, hanya untuk mengakhiri masalah protagonisnya lewat pernikahan dan perjodohan juga. 

Sampai filmnya usai, jangankan meneruskan S2 atau lewat karir, Ningsih betul-betul tidak berkuliah. Naskah garapan Titien Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan 1990) dan Novia Faizal (Cinta tapi Beda, Something in Between) berdasarkan pada ide cerita Sukdev Singh (One Fine Day, Calon Bini) pun urung tunjukkan kelebihan Ningsih bukan sekedar dalam hal domestik seperti memasak atau membuat teh jahe. Dan selanjutnya semua kesulitan hidupnya usai demikian si “pangeran berkuda putih” menjemputnya, membawanya kembali ke “kerajaan”. 



Itu tidak cuma satu elemen problematis film ini. Saya juga terganggu akan penggambaran masyarakat Jawa (lebih Jogja), yang balik lagi tampak kampungan, norak, betul-betul buta permasalahan modernisasi, pun tidak memahami rutinitas istiadat seperti orang barbar. Realitanya, masyarakat desa justru akan laku 180 derajat dari apa yang ditampilkan Calon Bini (dan beberapa ratus film lokal yang salah kaprah sebab malas riset yang lainnya). Saya memahami intensinya jadi bumbu komedi, tapi stereotip ngawur ini sudah jadi penyakit kronis perfilman kita, sampai di titik ini, sudah tidak pantas ditolerir. 

Walaupun sebetulnya di luar humor stereotipikal miliknya, Calon Bini sebenarnya menyimpan beberapa banyolan menggelitik, yang cukup efektif memancing tawa sebab pengadeganan dinamis Asep Kusdinar (Magic Hour, London Love Story) ditambah penyampaian oke jejeran pemain. Marwoto sang komedian legendaris Jogja sudah tentu begitu ambil perhatian lewat celotehan-celotehan Bahasa Jawanya. Ya, untuk pemakaian bahasa, Calon Bini patut dihargai karena sebisa mungkin jauhi percampuran paksa Bahasa Jawa dan Indonesia seperti ditangani FTV kita. 

Michelle Ziudith, walau belum sepenuhnya memberi kepercayaan mainkan gadis Jawa sebab model bicara yang terkadang masih terlilit logat “ndak demikian maaas...”, bisa menginjeksi daya supaya Calon Bini tidak kehabisan daya sampai usai. Tapi jika ada sisi yang begitu memvisualisasikan unsur pemberdayaan wanita, itu adalah akting Cut Mini. Tatapan Ngatinah waktu lihat sang suami meluapkan amukannya pada Agung, dipenuhi harga diri seorang wanita dari grup bawah yang tidak ikhlas kehilangan martabatnya. Contoh Calon Bini juga pancarkan aura sama.