Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : ESCAPE ROOM (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : ESCAPE ROOM (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : ESCAPE ROOM (2019)


Apa ada diantara kalian yang sudah sempat menjajal permainan ‘escape room’ yang popularitasnya tengah melesat dalam sekian waktu terakhir ini? Bila belum, coba deh luangkan diri (serta uang tentunya) lalu ajak rekan-rekan sangat dekat buat menjajalnya. Saya sendiri ketagihan ingin memainkannya setelah berkesempatan untuk coba permainan ini pada setahun waktu lalu. 

Dalam permainan ini, beberapa partisipan akan ‘dikurung’ pada suatu ruangan dalam kurun waktu tertentu untuk pecahkan teka-teki yang dapat membebaskan mereka dari ruangan itu. 

Kerja sama tim jelas diutamakan jika kalian benar-benar sudah alami kebuntuan berpikir, bisa meminta tips pada gamemaster yang tetap memperhatikan gerak-gerik pemain. Terdengar seru, kan? Dan percayalah, permainan yang memiliki beberapa tema ini (waktu itu saya menjajal tema zombie) memang seseru itu. 


Sebab begitu seru dan populernya game ini, tidak bingung jika petinggi studio di Hollywood yang pintar lihat peluang selanjutnya tertarik untuk mengadaptasinya jadi satu film layar-lebar. Mengusung judul sederhana Escape Room, film petunjuk Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) yang berjalan di jalan horor ini naikkan pertaruhan dalam permainan untuk menggandeng atensi pirsawan. Teka-tekinya bukan hanya dibikin lebih sulit, tetapi juga memiliki efek mematikan bila si pemain tidak dapat menuntaskannya cocok waktu. 


Dalam Escape Room versus layar-lebar, ada enam partisipan yang dilibatkan. Konfigurasinya terdiri dari seorang mahasiswi yang memiliki otak encer tapi susah bersosialisasi bernama Zoey (Taylor Davis), seorang pebisnis muda yang ambisius bernama Jason (Jay Ellis), seorang pekerja di toserba yang alkoholik bernama Ben (Logan Miller), seorang veteran perang yang alami trauma bernama Amanda (Deborah Ann Woll), seorang pecandu permainan escape room bernama Danny (Nik Dodani), dan seorang pengemudi truk bernama Mike (Tyler Labine). 

Keenamnya mendapatkan undangan dari perusahaan Minos untuk coba rasakan pengalaman mainkan escape room miliki mereka yang dijagokan “imersif” atau serupa bukti. Agar mereka semakin tertarik, Minos menyiapkan hadiah uang tunai sebesar $10 ribu buat pemain yang dapat mengakhiri halangan sampai akhir. 

Didorong oleh motivasi berbeda pada satu dengan yang lain – jadi contoh; Ben membutuhkan uang, Danny suka pada permainan ini, dan Zoey memerlukan halangan – mereka pun bersedia coba permainan ini. Tanpa ada kebimbangan sedikitpun, ke enam partisipan awalannya menyangka bila ini cuma hanya permainan… sampai lantas intimidasi tertampang riil di muka mata. Mereka masuk ruangan untuk ruangan yang memiliki oven raksasa, udara dingin, ‘lantai berlubang’, sampai dinding berjalan yang dapat mengakhiri hidup mereka bila teka-teki gagal dipecahkan. 

Jika yang kamu perlukan adalah film untuk seru-seruan pada saat senggang, Escape Room sebetulnya bukan pilihan yang memilukan. Dengan pribadi, saya bisa nikmati sajian dari Adam Robitel ini sangat tidaklah sampai masuk menit ke-70. Apresiasi terbesar yang dapat saya beri pada Escape Room adalah design produksinya yang termasuk juga impresif sampai kemungkinan besar masing-masing ruangan untuk memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri juga sekaligus memberi beberapa kesan ‘imersif’ seperti disebut oleh beberapa partisipan. 

Dalam permainan perancangan Minos ini, kamu akan menjumpai ruangan serupa ruang tunggu yang diam-diam menyimpan oven raksasa, ruangan serupa danau membeku yang dinginnya bukan kepalang, ruangan serupa bar tempat bermain billiard yang tempatnya terbalik, sampai ruangan serupa bangsal rumah sakit. Adanya pembeda di masing-masing ruangan ini automatis hindari pirsawan dari kejenuhan sebab muncul keingintahuan mengenai bentuk ruangan sesudah itu. 


Berkenaan tingkat kesulitan tetap naik, ada pula perasaan ingin tahu untuk tahu halangan seperti ditambah lagi yang akan didapati oleh beberapa partisipan. Memang sih beberapa halangan tampak begitu mudah untuk dipecahkan, tapi syukurlah Escape Room masih menyimpan satu momen yang betul-betul membuat jantung ini berdegup kencang dan kaki terasa lemas. Untuk saya, momen itu dapat dijumpai di ruang billiard. 

Tidak hanya design produksi, faktor yang lain yang menyebabkan Escape Room terasa nikmat-nikmat saja buat dikudap adalah laju penceritaan yang bergegas dan barisan beberapa ciri yang (syukur alhamdulillah) tidak begitu menyebalkan. Kapan coba akhir kali kamu lihat satu film horor dimana sebagian besar ciri-khasnya dapat diberi simpati dan kamu tidak inginkan mereka mati? Jarang-jarang ada lho, dan karenanya, Escape Room perlu diberi sedikit tepuk tangan. 

Yang perlu dihargai adalah usaha Robitel dalam selamatkan film dari penurunan sebab materi narasi kurang memenuhi. Ya, si pembuat film memahami benar bila skrip film ini mempunyai kandungan penceritaan yang tipis dan terasa begitu familiar sampai mengingatkan pada Cube (1997), Saw V (2008), sampai The Belko Experiment (2016). Itu mengapa dia mengondisikan agar laju penceritaan Escape Room melesat cepat untuk menutupi kekurangan skrip dan hindari pirsawan dari kesempatan bosan sebab beberapa trik yang kurang bergigi. Smart move, huh? Sukses di satu jam pertama, sayangnya langkah Robitel terjegal demikian film masuk set pengungkapan yang bukan saja berjalan datar tetapi juga tidak memiliki daya sentak seperti diperkirakan. 

Tekad untuk tingkatkan film jadi satu franchise turut memiliki ikut serta pada konklusi yang terasa antiklimaks sampai memunculkan komentar “udah nih demikian saja?”. Mujur Escape Room termasuk juga sukses di tangga box office sampai kesempatan buat pirsawan untuk memperoleh jawaban di jilid seterusnya waktu itu pun terbuka lebar. Coba pikirkan jika film ini gagal, jadi kedongkolannya mungkin sama juga dengan The Mist (2007) yang penyelesaiannya belum dapat saya maafkan sampai sekarang ini.