Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : SHAZAM! (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : SHAZAM! (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : SHAZAM! (2019)


Menjadi seorang yang tidak dapat pas dengan gelap-gelapan ala DC Extended Universe (DCEU), saya pasti bersorak bahagia demikian tahu jika mereka sudah memperhitungkan untuk ubah haluan. Diawali dari Wonder Woman (2017) yang memprioritaskan rumor women empowerment dengan penuh suka ria lantas disusul oleh Aquaman (2018) yang menunjukkan jika “norak” tidak selamanya bermakna negatif, sekarang DCEU mendatangkan satu superhero movies yang sangat ramah pemirsa cilik, Shazam! Tidak seperti rekan-rekan sejawatnya dari semesta sama yang mempunyai nama besar, Shazam! bukan jagoan yang dielu-elukan oleh generasi muda saat ini. Bahkan juga tidak dikit juga yang bertanya-tanya, “siapakah sich ia sebetulnya?”. 


Walau sebenarnya ciri-ciri bernama asli Captain Marvel ini (well, paling tidak di awalnya kehadirannya sebelum lalu dirubah untuk hindari perseteruan dengan tetangga) sudah dikenalkan sejak dari tahun 1939 serta konon sempat juga dijajarkan dengan popularitas Superman. Vs monitor lebarnya juga sebenarnya telah disiapkan sejak dari awal 2000-an tetapi selalu terkatung-katung saat sekian tahun lamanya yang satu diantara penyebabnya dipacu oleh ambisi Warner Bros. untuk mendatangkan suara penceritaan yang bermuram durja (!). Selesai alami beberapa peningkatan sekaligus juga perombakan di beberapa bidang, Shazam! yang diatasi oleh David F. 


Sandberg (Lights Out, Annabelle Creation) ini pada akhirnya ditetapkan untuk dilepaskan menjadi tontonan dengan warna pengisahan ikuti materi sumbernya. Itu bermakna, bersinonim erat dalam kata karakter berbunyi: cerah ceria, kocak, dan penuh dengan keceriaan. Tiga perihal yang memang seringkali saya harap dapat didapat dari superhero movies. 

Sehubungan ada banyak pemirsa film di dunia yang belum ngeh dengan Shazam!, jadi tentunya instalmen pembuka ini digunakan menjadi origin story yang memberitahukan pemirsa dengan jati diri sang jagoan. Kita disandingkan pada seseorang bocah berumur 14 tahun bernama Billy Batson (Asher Angel) yang hidupnya berpindah-pindah dari satu rumah asuh ke rumah asuh lainnya saat ditelantarkan oleh ke-2 orang tuanya. Ia alami krisis keyakinan pada orangtua angkatnya serta begitu berdedikasi dalam mencari kehadiran sang ibu yang diyakininya masih tetap menyayanginya. Dalam penelusuran terbarunya, Billy bahkan juga melakukan tindakan nekat dengan mempermainkan dua polisi yang tidak ayal menggerakkan petugas perlindungan anak untuk menemukan keluarga baru buat bocah bengal ini. 

Billy juga diberikan ke satu keluarga yang konfigurasinya terdiri atas anak-anak adopsi. Walau Billy sendiri tunjukkan sikap acuh tidak acuh, keluarga anyarnya ini malah menyambutnya dengan hangat khususnya rekan sekamarnya, Freddy Freeman (Jack Dylan Grazer), yang dilukiskan menjadi penggila superhero. Ketidakpedulian Billy pada Freddy lalu beralih dengan perlahan-lahan tetapi tentu sesudah ia alami momen aneh dalam pelariannya memakai kereta api bawah tanah. 

Alih-alih datang di stasiun arah, ia malah dibawa ke arah Rock of Eternity di mana ia berkomunikasi dengan seseorang penyihir (Djimon Hounsou) yang tidak diduga menyerahinya dengan kemampuan ajaib. Billy bisa menjadi pria bertubuh kekar (Zachary Levi) yang dikaruniai beberapa jurus seperti lari dengan cepat sekali ataupun keluarkan petir tiap-tiap ia mengucap mantra berbunyi “shazam!”. Dilingkupi perasaan bahagia serta bingung di waktu bertepatan, Billy juga minta pertolongan Freddy untuk memandunya supaya ia dapat melakukan tindakan semestinya superhero sejati. 

Dilihat dari bagian penceritaan, Shazam! sebenarnya tidak tawarkan pembaruan. Si pembuat film masih tetap taat dalam ikuti skema satu origin story di mana cerita lebih mengutamakan pada penelusuran jati diri dari ciri-ciri pahlawan berkaitan. Atau lebih spesifiknya, film mengimplementasikan topik “from zero to hero”. Classic? Memang benar terdapatnya. Tetapi seperti kita ketahui bersama dengan, bukan masalah inspirasi ceritanya “segar atau usang” yang lalu jadi unsur penentu penting apa satu film bisa terhidang dengan spesial. Kunci sangat penting terdapat pada eksekusi. 


Siapa yang menyangka bila lalu seseorang David F. Sandberg yang lebih diketahui menjadi sineas horor nyatanya dapat mendatangkan Shazam! menjadi satu tontonan kepahlawanan yang ciamik? Buat mereka yang mendamba tontonan superhero begitu teramat serius serta penuh filosofi apalah-apalah seperti beberapa pejabat di Warner Bros. yang referensinya ialah trilogi The Dark Knight milik Christopher Nolan, jadi bersiap-siaplah untuk mengomel-ngomel sebab Sandberg tidak punya niat sedikitpun mengarahkan film ke model penceritaan itu. Melihat latar belakang si ciri-ciri tituler yang sebenarnya begitu konyol (berdasarkan premis “bagaimana jadinya jika bocah berumur 14 tahun tidak diduga dapat beralih jadi pahlawan super?”), tentunya cukup tidak mungkin memandangnya dilantunkan tanpa ada taburan humor melimpah. 

Serta memang, film ini juga belum pernah diniatkan untuk memandang dianya dengan serius. Ada banyak keceriaan tersaji di tiap-tiap menitnya yang dikarenakan oleh banyolan-banyolan sarat rujukan budaya popular, banyolan berbentuk slapstick, serta hubungan Shazam-Freddy dengan perilaku norak yang membuat diri ini berkali-kali tergelak-gelak dengan terlepas. 

Sensitivitas Sandberg dalam membuat komponen-komponen komedik jadi satu fakta kenapa tiap-tiap humor yang dilemparkan di beberapa peluang bisa tentang tujuan. Fakta yang lain dikuasai oleh perform deretan pemain yang pantas kita berikan tepok tangan meriah seperti Zachary Levi, Jack Dylan Grazer, Asher Angel, Faithe Herman menjadi si kecil Darla yang begitu teramat ceriwis (tetapi begitu menggemaskan!), dan Mark Strong yang diserahi pekerjaan untuk melakonkan sang villain bernama Dr. Thaddeus Sivana. Mereka tampak begitu nikmati peranan semasing terutamanya Levi yang kentara bersenang-senang menjadi Shazam yang masih tetap tunjukkan kepolosan langkah berfikir bocah berumur 14 tahun, serta Grazer yang membuat chemistry asik bersama dengan Levi. Karena interpretasi peranan kedua-duanya, kita dapat lihat Billy (pada tubuh Shazam) bersama Freddy seperti dua bocah yang barusan dikasih mainan baru. Alih-alih pikirkan “bagaimana langkah kita selamatkan dunia?” yang menurut Billy adalah tanggung jawab Superman serta Batman, mereka lebih pilih mendayagunakan kemampuan Shazam untuk bermain-main. Mereka rekam semua kegiatan eksperimen kemampuan si pahlawan, lantas mengunggahnya ke Youtube. 

Seperti dapat diterka oleh siapa saja, figur Shazam selekasnya jadi bahan pembicaraan di jagat maya serta jagat riil dalam film yang sebenarnya tidak memandang superhero menjadi satu keajaiban. Bersamaan makin meroketnya popularitas si pahlawan, jalinan pertemanan di antara Billy dengan Freddy juga terserang efeknya yang sejumlah besar dikarenakan oleh keserakahan. Billy yang tidak sempat mendapatkan perhatian orangtua punya niat mengarahkan semua lampu sorot dari publik padanya. Ia memerlukan pernyataan, ia memandang dielu-elukan penduduk sama berarti dengan mendapatkan kasih sayang. Tetapi apakah benar demikian?.