Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : GLASS (2019)


Bagaimana jadinya bila kenyataannya sejauh ini superhero dan supervillain yang kita kenal melalui komik benar-benar ada? Mereka adalah orang yang kita jumpai di jalanan, mereka adalah orang yang kita kenal, dan bahkan, mereka adalah keluarga kita. 

Mereka bertindak seperti orang biasanya karena mereka belum memahami potensi yang dimiliki dan melihat cerita dalam komik cuma imajinasi dari seorang pencerita ulung alih-alih merepresentasikan peristiwa riil. Melalui Unbreakable (2001), M. Night Shyamalan yang dijuluki jadi “ahli twist” mengeksplorasi pengandaian ini jadi satu narasi yang waktu itu termasuk juga ciamik sampai disebut mendeskrontruksi type superhero. 


Tidak ada pahlawan berjubah yang perkasa dan bisa diandalkan kapanpun, si pembuat film justru menyodorkan cerita berpendekatan sesuai dengan fakta dengan beberapa ciri penting seorang pria paruh baya yang tidak paham menahu mengenai jati dirinya. Mengingat Shyamalan tidak sudah sempat sesumbar permasalahan origin story dari superhero, set pengungkapan dari tontonan thriller ini memberikan kejutan tersendiri. 

Begitu juga dengan Split (2017) yang kenyataannya oh kenyataannya bukan psychological horror biasa karena ini ialah kelanjutan ‘tersembunyi’ dari Unbreakable yang menaruh konsentrasi pada lahirnya seorang supervillain. 

Berkenaan sang sutradara telah miliki mimpi dari sejak lama untuk mengkreasi satu trilogi berbasiskan cerita kepahlawanan, jadi kesuksesan besar Split dimanfaatkannya jadi jalan untuk mewujudkan set ke-3 bertajuk Glass yang dijagokan memiliki showdown epik. Tapi bisakah pernyataan ini disadari? 


Dalam Glass, pirsawan 1x dipertemukan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy) yang mempunyai 24 kepribadian termasuk “The Beast” yang buas bak hewan liar, lalu David Dunn (Bruce Willis) yang tubuhnya tahan banting serta bisa tahu waktu lalu seseorang melalui sentuhan tangan, dan Elijah “Mr. Glass” Price (Samuel L. Jackson) yang tulang-tulangnya mudah patah. 

Ke-3 beberapa ciri ini selanjutnya saling bergesekan setelah mereka ditempatkan pada sebuah rumah sakit jiwa dimana Elijah telah tempati tempat itu sejak penghujung narasi Unbreakable. David yang sejauh ini bergerilya dalam menjalankan tugasnya jadi penghilang kejahatan turut ditangkap usai dirinya dijumpai tengah berlaga melawan Kevin dalam upayanya menggagalkan ide pembunuhan pada beberapa remaja wanita. 

Ada dua bukti yang membuat pihak berwajib ingin memutuskan untuk menahan David yang waktu dilihat seperti pahlawan; 1) dia berlagak seperti hakim tanpa diimbangi bukti kuat, dan 2) dia dilihat memiliki permasalahan kejiwaan “delusions of grandeur” sebab menjelaskan dirinya memiliki potensi melalui manusia normal. 

Dibawah pengawasan seorang psikiater bernama Dr. Ellie Staple (Sarah Paulson), ketiganya memperoleh perawatan yang memiliki arah untuk mengenyahkan pemikiran bila mereka adalah manusia-manusia perkasa. 

Memiliki arah agar ketiganya dapat bertindak seharusnya manusia normal. Di dalam usaha Ellie dalam ‘meluruskan’ pemikiran beberapa pasiennya ini, Elijah diam-diam merencanakan satu yang besar untuk buka di dunia mengenai kedatangan manusia perkasa seperti David dan Kevin. 

Jadi satu film yang disediakan jadi set paling akhir dari trilogi yang memiliki dua film kece, sayangnya Glass terasa kurang ‘wah’. Showdown epik yang dijanjikan urung ada, dan sebetulnya saya pun tidak sudah sempat berharap banyak mengingat film ini hanya memperoleh suntikan dana sebesar $20 juta yang tentunya tidak cukup mencukupi untuk mengkreasi gegap gempita. 

Ditambahkan, portofolio Pak Shyamalan dalam kerjakan film laga seperti The Last Airbender (2010) dan After Earth (2012) pun jauh dari kata menggembirakan. Lempeng selempeng lempengnya. Jadi apa masih bisa dimaksud begitu berlebihan jika saya mendamba Glass akan dikaruniai momen laga yang menyenangkan? Tentu tidak dan bila ada pirsawan yang berekspektasi demikian pula saya tidak bisa mempersalahkannya. Bagaimana tidak, Shyamalan telah sesumbar dengan mengatakan film ini jadi tontonan unik, menarik, dan tentunya, besar. 


Tiga kata ciri-ciri yang kesemuanya cukuplah kurang cocok untuk dialamatkan pada Glass. Saya tidak menjelaskan jadi sajian yang buruk toh diri ini masih cukup menikmatinya. Waktu waktu mengalun saat 128 menit – dan ini sebetulnya bisa dipangkas sekitar 20 menit tidak butuh menghilangkan esensinya – terdapat beberapa momen yang sempat membuat saya bersedia untuk letakkan atensi pada layar-lebar. Momen terbaik dalam Glass, sekurang-kurangnya untuk saya, bisa dijumpai pada belasan menit pertama waktu David selanjutnya bisa mencari kedatangan Kevin, pada pertengahan waktu dimana Ellie mengeluarkan hipotesanya di muka tiga beberapa ciri penting, dan pada set klimaks saat Elijah mulai perlihatkan ide besarnya. 

Ya, bukan waktu film dipenuhi dengan percakapan-percakapan yang kurang menarik untuk didengarkan atau waktu si pembuat film coba unjuk potensi dalam mengkreasi adegan laga yang sebenarnya “gitu doang”, Glass berada di titik terunggul waktu elemen suspense yang memang jadi keterampilan dari Shyamalan menunjukkan keberadaannya. 

Dan elemen ini dapat terdeteksi melalui momen-momen terbaik yang telah saya jelaskan yang hampir kesemuanya ada di permulaan dan penghujung film, sekejap pertengahan waktu yang kekurangan tenaga jadi seperti dongeng pengantar tidur. 

Tidak hanya kedatangan elemen suspense, tentang terbaik yang lain yang bisa dijumpai dari Glass adalah perform jejeran pemainnya yang tidak memilukan khususnya James McAvoy yang tampak bersenang-senang dengan peranannya yang sekali ini mempersilahkannya untuk mainkan makin banyak kepribadian dibanding waktu dia berlakon dalam Split. 

Bukan sekedar memprioritaskan pada gestur atau mimik muka, McAvoy turut memberi perubahan pada intonasi suara sampai pirsawan dapat tahu kepribadian mana yang tengah menukar ‘cahaya’ miliki Kevin. Sebab permainan lakon ini – oh, kredit istimewa juga patut disematkan pada Samuel L. Jackson yang membuat gregetan! – ditambah adanya daya cekam di beberapa titik sedikit banyak membantu selamatkan Glass dari kesempatan pecah berkeping-keping. Memang sih film ini tidak seunik, semenarik, serta sebesar yang dijanjikan lebih kita hidup di waktu dimana superhero movies telah demikian umum dengan jenis pendekatan. 

Tapi sekurang-kurangnya film ini masih memiliki setitik keunggulan yang membuat dapat di nikmati, sekurang-kurangnya itu untuk saya yang tidak pernah berekspektasi lebih pada Glass.