Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : COLD PURSUIT (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : COLD PURSUIT (2019)

Liam Neeson menggebuk beberapa puluh penjahat seorang diri untuk membalas kematian profil tercintanya. Baik premis, trailer, atau posternya mengesankan bila Cold Pursuit ialah satu installment dalam seri tidak resmi “Liam Neeson’s One Man Army Revenge Action Flick”. Dan bagaimana filmnya bermula makin menguatkan beberapa kesan itu. 

Nelson Coxman (Liam Neeson) adalah pembersih salju pada suatu kota resor ski fiktif, Kehoe, yang lakukan hidup bahagia dengan sang istri, Grace (Laura Dern), dan anaknya, Kyle (Micheál Richardson). Kebahagiaan itu makin lengkap waktu Nelson dianugerahi gelar “Citizen of the Year”. Sampai satu malam, beberapa orang menculik Kyle lalu menyuntikkan heroin ke tubuhnya. Pagi harinya Kyle diketahui wafat overdosis. 

Peristiwa itu terdengar seperti “tragedi sempurna” menjadi pemicu bangunnya insting membunuh beberapa ciri manfaat Liam Neeson, yang biasa kita saksikan di set karirnya waktu Taken (2008). Sampai adegan di ruang jenazah berjalan, waktu tim forensik kesulitan perlihatkan tubuh Kyle pada seorang tuanya. Di situlah saya, yang lihat tanpa membaca keterangan atau lihat film aslinya (Cold Pursuit ialah remake film Norwegia In Order of Disappearance yang disutradarai Hans Petter Moland) sadar, Cold Pursuit berbeda dengan keinginan saya dan banyak pirsawan yang lainnya. 


Ini adalah komedi hitam yang lebih dekat ke arah karya-karya Coen Brothers dibanding thriller-aksi keunikan Liam Neeson. Bahkan salah satu adegan tunjukkan pembicaraan dalam mobil pada dua mafia tentang trik menyetubuhi pelayan motel diantara misi penculikan yang mereka emban. Situasi itu mengingatkan pada adegan legendaris dari Pulp Fiction-nya Quentin Tarantino. 

Banyaknya korban yang berjatuhan masih tinggi, pun sebab langkah brutal Nelson sebagian dari mereka wafat mengenaskan, yang sayangnya seringkali tinggalkan pergantian jumpy jadi dampak penyensoran (Meskipun saya mencurigai penyuntingan film ini memang buruk di beberapa titik). Sesudah semasing kematian, kita akan ditampilkan monitor hitam berisi nama korban, yang biasanya memiliki panggilan unik sepeti Speedo, Wingman, dan lain-lain. Model itu seringkali menghasilkan tawa, khususnya masuk klimaks saat banyak nyawa melayang di satu waktu. 

Jalannya pun tidak sesederhana keliatannya. Karena Viking (Tom Bateman), bos mafia yang Nelson bantai, menyangka anak buahnya wafat di tangan sang lawan, gembong narkoba Indian yang di memimpin White Bull (Tom Jackson). Ke-2 pihak sempat ikut juga persetujuan pembagian tempat kekuasaan, sampai mereka (juga beberapa polisi) menyangka semua kematian ini berkaitan dengan perang memperebutkan teritori. Terciptalah pertikaian sarat kekacauan menjadi dasar memadahi buat terciptanya suguhan komedi hitam. 

Beberapa tanda, khsusunya anak buah Viking, walaupun sejumlah besar diberi screentime minim, cukup tinggalkan beberapa kesan sebab ciri berbagai yang disematkan naskah buatan Frank Baldwin, entahlah berbentuk sikap tidak biasa, cerita yang mereka beri, atau rahasia yang mereka taruh. 


Tidak semua humornya efetktif, dan banyak diantaranya akan sesegera terlewati, entahlah karena di sejumlah kesempatan Hans Petter Moland belum demikian pakar memvisualisasikan situasi komedi gelap memorable, atau murni karena tulisan humor yang tidak cukup tajam. Permusuhan seputar salah pengertian pun sebetulnya bukan ialah intrik inovatif yang bisa dengan berkepanjangan mengamati peristiwa, lebih waktu Moland senang menggerakkan filmnya dalam tempo lambat. 

Tapi betul-betul saya berbohong bila menjelaskan bila absurditas Cold Pursuit kurang menyenangkan, dan lihat Liam Neeson, yang masih tampil setangguh biasanya, ditempatkan di situasi aneh semacam ini, saat alih-alih dentuman ritmis klise keunikan thriller-aksi justru musik mempunyai nuansa Eropa gubahan George Fenton (Gandhi, The Fisher King) yang terdengar, tidak terasa berikan kesegaran.