Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : MANTAN MANTEN (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : MANTAN MANTEN (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : MANTAN MANTEN (2019)


Apabila hanya berpatokan pada materi promosi yang digeber oleh Visinema Pictures (Love for Sale, Keluarga Cemara), entahlah itu dari poster berwarna merah muda yang unyu-unyu atau kutipan-kutipan mengenai sisa di media sosial, saya cukup yakini sebagian besar dari kita pasti menyangka Sisa Manten jadi film percintaan yang diniatkan untuk bikin gemas beberapa penontonnya. 

Jika kenyataannya opini itu meleset, sekurangnya film masih berdasarkan di type romansa dengan pendekatan beralih ke melodrama yang meminta beberapa pemirsanya untuk bersedu sedan pada nasib beberapa ciri utamanya yang pilu. 


Berkenaan saya termasuk juga konservatif – dan tidak banyak juga menggali info mengenai film ini sebelum lihat – tentu saja dua keinginan ini yang saya tetapkan saat memperhatikan Sisa Manten yang kenyataannya oh kenyataannya membuat saya terkezut. 

Alih-alih mengkreasinya jadi film percintaan konvensional dimana fokusnya tertambat pada hubungan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, Farishad Latjuba (film pada awalnya pun berkaitan dengan kekasih dari waktu lampau, Sisa Terindah) menjadi sutradara berupaya untuk membelokkannya. 

Bukan sekedar berceloteh permasalahan pahit manisnya cinta, film turut menyentuh budaya Jawa dengan semua unsur mistis yang melingkunginya serta isu women empowerment dimana si beberapa ciri wanita tidak dilukiskan tunduk pada lelaki yang dicintainya tapi jadi seorang pejuang yang menolak untuk menyerah pada situasi. 


Beberapa ciri wanita yang dimaksud dalam kerangka ini adalah Yasnina Putri (Atiqah Hasiholan) yang dikisahkan telah merengkuh semua dalam usia mendekati kepala tiga. Dia mempunyai karir demikian mapan jadi manajer investasi, dia mempunyai harta melimpah ruah hasil dari kerja kerasnya waktu demikian tahun, dan dia juga mempunyai seorang tunangan bertampang rupawan yang bersedia kerjakan apa untuk Yasnina, Surya (Arifin Putra). Lalu, ditambah lagi yang kurang dari kehidupannya? Jika hanya ditengok dari permukaan, Yasnina memang terlihat telah memiliki semua. 

Tapi setelah relasi kerjanya, Iskandar (Tyo Pakusadewo), yang merangkap menjadi calon mertuanya tidak disangka mengkhianatinya dalam satu permasalahan pemalsuan, pirsawan mulai mengendus bau tidak enak yang memberi tanda-tanda bila protagonis kita ini mungkin tidak benar-benar kaya. Bukan permasalahan hartanya yang bisa ludes hanya pada suatu kejapan mata, tapi permasalahan sebagian orang yang mencintainya dengan tulus dan bagaimana dia menyikapi masalah. 

Yasnina memang tidak terjatuh, tapi dia menaruh dendam kesumat pada Iskandar dan miliki kemauan untuk membalas dendam. Untuk memenangkan pertarungan, wanita yang akrab dipanggal Nina ini mesti mendapatkan uang dari cuma satu properti miliknya yang masih tetap berada di Tawangmangu, Jawa Tengah. Menyangka semua proses berkaitan dengan villa akan berjalan mulus, Nina justru diletakkan pada permasalahan yang lain waktu dukun manten yang tempati villa itu, Marjanti (Tutie Kirana yang tampak berwibawa juga sekaligus keibuan di waktu bersamaan), kemukakan satu pra-syarat sulit yang butuh dipenuhi bila Nina ingin memperoleh apa yang dimauinya.  

Pra-syarat sulit yang dimaksud dalam kerangka ini adalah isi tempat jadi asisten pribadi Marjanti yang profesinya berkaitan dengan pernikahan tradisional atau lebih detail , memaes. Jadi seorang Jawa tulen yang kebetulan memiliki kerabat yang penghasilan sehari-harinya bersumber dari rias manten, saya tentu sudah sempat dengar juga sekaligus lihat langsung paes yang pemahaman sederhananya adalah tata rias pengantin dalam rutinitas Jawa berupa lekukan berwarna hitam di dahi pengantin. 


Tapi buat pirsawan yang tidak sudah sempat tahu mungkin bertanya-tanya, “apa sih faedah paes ini? Mengapa keberadaannya demikian sakral sampai hanya orang tertentu yang dapat mengemban pekerjaan memaes?”. 

Sisa Manten yang naskahnya ditulis oleh Farishad Latjuba dengan Jenny Jusuf ini sayangnya kurang memberikan keterangan memuaskan mengenai latar belakang pengetahuan paes termasuk permasalahan filosofi dibaliknya dan ketentuan-ketentuan jadi seorang pemaes sampai menanyakan beberapa pemula bisa jadi kurang terjawab termasuk jalinan dengan klenik. 

Dalam paruh awal yang memang alami permasalahan dalam mengutarakan narasi (terkadang basa-basi terkadang tergesa-gesa), film juga urung memberi penekanan pada hubungan percintaan yang tersambung diantara Yasnina dengan Surya. Ke-2 pemain tampil kompeten, khususnya Atiqah Hasiholan yang bermain impresif jadi wanita kuat dengan ego menggelembung, tapi mereka tidak terlihat seperti pasangan yang benar-benar saling suka pada. Apa ini disengaja oleh si pembuat film untuk memberikan isyarat bila ada permasalahan yang coba diredam diantara mereka atau cuma karena film tidak mengeksplorasi relasi keduanya? 

Saya sempat bertanya ini dan juga sempat sering dibikin mengernyitkan dahi sebab narasi yang cenderung kagok, sampai lantas Sisa Manten membuat saya bersedia untuk memafhuminya setelah film dengan perlahan tapi pasti menambat hati ini terhitung dari sejak melunaknya sikap Nina pada Marjanti. Ya, walaupun dilukiskan jadi wanita pandai nan kuat, Nita bukan profil beberapa ciri yang mudah disukai sebelumnya karena tindak tanduknya yang sering menyepelekan unggah ungguh (baca: sopan santun) terutamanya waktu terkait dengan Marjanti yang dengan usia ada jauh di atasnya. Perubahan dalam dirinya mulai tampak usai Marjanti mengutarakan kenyataannya lakukan profesi dukun manten yang dilandasi oleh keikhlasan. 

Dari sini, Sisa Manten tidak menaruh minat untuk membahas manis pahitnya hubungan percintaan Nina-Surya dan lebih memberi perhatian pada perjuangan si beberapa ciri penting dalam bangun kehidupan baru yang membuat film terasa seperti tontonan penambahan diri dengan tema penting “sebuah seni untuk laku ikhlas.” Apa ini salah? Untuk saya pribadi, tidak betul-betul karena film justru menguarkan pesona sebetulnya di sini. Waktu dirinya menghadirkan metafora untuk memvisualisasikan nuansa mistis dalam budaya Jawa yang dapat tampak indah alih-alih menakutkan, waktu dirinya mengulas tentang “senjata” yang disediakan oleh Nina untuk memenangkan pertarungan besarnya. Nina yang sebelumnya seorang wanita modern dengan pemikiran pragmatis selanjutnya bersedia merangkul budaya Jawa yang serba tradisional sesuai dengan opini dari Marjanti. 

Sebab budaya yang baru dikenalnya dengan mendalam ini, Nina memahami bila dirinya dapat memperoleh kekayaan hati serta jalan keluar untuk mengakhiri jejeran permasalahannya kalau dia bersedia berdamai dengan luka, meredam dendam, sampai akhirnya hadir dalam set “nerimo”. Satu set yang sulit untuk dicapai kecuali pihak terkait mengerti arti dari bersyukur dan suka pada dirinya.