Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : THE KID WHO WOULD BE KING (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : THE KID WHO WOULD BE KING (2019)


Tidak paham dengan bocah zaman saat ini, tapi jika menontonnya pada saat SD, saya akan terobsesi dengan The Kid Who Would Be King, khususnya pada bagian klimaks, waktu si tokoh penting memimpin teman-temannya berperang melawan pasukan berkuda dengan tubuh membara dan penyihir berusia beberapa ribu tahun yang tampak seperti naga mukanya Gollum, dengan menyulap seisi sekolah jadi benteng pertahanan. Sebetulnya saya seringkali melamunkan fantasi semacam itu saat kecil dulu. 

Melalui The Kid Who Would Be King, Joe Cornish (Attack the Block) mengubah narasi Arthurian jadi film keluarga mempunyai nuansa Amblin, yang bahkan mempunyai kandungan cue musik sama, serta pesan tentang potensi dalam diri dan cinta, seperti banyak mahakarya Steven Spielberg pada saat 80-an. 

Filmnya berlatar di dunia sama dunia kita, di mana kekacauan berjalan sebab penyalahgunaan kekuasaan serta lenyapnya kemuliaan. Kondisi itu turut merubah proses tumbuh kembang protagonis kita, Alex Elliot (Louis Ashbourne), yang hidup berdua dengan sang ibu (Denise Gough) sekalian tetap merindukan profil bapak yang telah lama hilang. 



The Kid Who Would Be King membuka perjalanan Alex waktu ia menolong sahabatnya, Bedders (Dean Chaumoo), dari permasalahan Lance (Tom Taylor) dan Kaye (Rhianna Doris). Tapi kebaikan Alex justru mendatangkan persoalan baru, dan seperti banyak individu zaman sekarang ini, ia mulai meragukan esensi kebaikan. Tapi jangan sampai kuatir, sebab film ini bisa menyentuh masalah serius tidak butuh membenamkan beberapa ciri anaknya dalam ruangan yang begitu gelap. 

Tidak butuh juga buat The Kid Who Would Be King berlama-lama di set perenungan. Kita dengan cepat dibawa lihat keberhasilan Alex mencabut pedang Excalibur miliki Raja Arthur, tanpa memahami, bila dengan bersamaan, Morgana (Rebecca Ferguson), saudari tiri Arthur, mulai bangun dan bersiap membawa kegelapan buat dunia juga sekaligus merebut Excalibur. Tentu Merlin (Angus Imrie) ikut juga dan. Sang penyihir ada dengan samaran jadi remaja aneh bernama Mertin. Terkadang ia perlihatkan profil tuanya, yang dimainkan Patrick Stewart lewat kharisma “pria tua bijak” yang jamak kita jumpai di film-film setipe. 

Merlin membimbing Alex memahami takdirnya jadi pewaris Excalibur yang perlu hentikan ide Morgana. Karenanya, bukan sekedar Bedders, diambil pun Lance dan Kaye. Sebab sama Raja Arthur, Alex dapat mengubah lawan jadi kawan. Bermodalkan kecerdikan berlatar semangat bersenang-senang, naskah buatan Cornish menyerap beberapa elemen legenda Arthurian, tanpa perlu mengekang kebebasan mengeksplorasi narasi ke arah berbeda. 

Karena sebetulnya salah satu pesan penting film ini adalah permasalahan “memilih arahmu sendiri”. Meskipun presentasinya sedikit inkonsisten (cocok setelah pesan itu disebutkan, Cornish membuat ciri-khasnya kembali bergantung pada buku untuk pecahkan persoalan), elemen itu memang diperlukan oleh blockbuster sekarang ini. Masih fresh di ingatan bagaimana Star Wars: The Last Jedi terima setumpuk kebencian sebab malas buat jadi Rey keturunan profil penting. The Kid Who Would Be King melemparkan pernyataan tegas jika grup biasa pun dapat (dan mempunyai hak) jadi profile mempesona. 


Mangkir menyutradarai waktu demikian tahun tidak membuat Cornish kehilangan sentuhan. Berdasarkan pada naskah penuh aksi di mana deretan laga muncul cocok waktu untuk mengamati peristiwa, Cornish sukses melahirkan beberapa sekuen seru lengkap dengan napas fantasi. Tapi kemenangan terbesarnya adalah kesuksesan memberi hati. Cornish gunakan kalimat “Honor those you love” untuk bangun momen ibu-anak menyentuh, yang dibungkus menggunakan sensitivitas dalam pengadeganan, akting kuat Denise Gough, serta timing sempurna.