Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : FIVE FEET APART (2019)

Waktu bicara tentang tontonan percintaan untuk grup remaja yang mengambil jalan melodrama, satu tentang yang waktu itu pun terlintas di pikiran adalah formula penceritaannya yang sering seputar pada “cinta terhalang penyakit”. Satu formula yang sebetulnya classic – pertemuan pertama saya dengan topik ini dimulai dari A Walk to Remember (2001) – tapi paling akhir kembali menjumpai popularitasnya sebab sambutan hangat yang diterima oleh The Fault in Our Stars (2014). 

Kita berkesempatan memperoleh sajian tearjerker yang bagus melalui Me and Earl and the Dying Girl (2015) bersama dengan Me Before You (2016), tapi ada pula yang menggoreskan beberapa kesan kurang menyenangkan seperti Everything Everything (2017). 

Berkenaan judul-judul itu kenyataannya tunjukkan bila narasi cinta yang mendayu-dayu masih demikian disukai oleh publik, jadi tentu saja sineas Hollywood pun tidak berhenti untuk menyuguhkannya dalam tempo dekat ini. Bisa dibuktikan, kita lantas diberikan Five Feet Apart yang menghadapkan “penyakit mematikan” dengan “percintaan” pada suatu komune. 

Melalui film yang seringkali saya kata Pacar Lima Langkah dalam beberapa pembicaraan dengan kawan dekat ini (terdengar lebih manis, kan? ), pirsawan bukan hanya dipertemukan dengan satu pasien penyakit mematikan saja tetapi ada tiga. Salah duanya mengikutkan beberapa ciri protagonis film yang tengah dimabuk cinta sampai mesti diri ini pula waktu itu pun ingat pada The Fault in Our Stars. 


Ya, seperti dalam film rekonsilasi dari novel John Green itu, Five Feet Apart pun menghadirkan narasi cinta yang mengamini lirik lagu Rihanna: we found love in a hopeless place. Si beberapa ciri wanita adalah Stella Grant (Haley Lu Richardson) yang menanggung derita cystic fibrosis (atau CF, satu penyakit yang merubah kemampuan paru-paru sebab produksi lendir terlalu berlebih) dari sejak kecil, sekejap si beberapa ciri lelaki adalah Will Newman (Cole Sprouse) yang akhir-akhir ini terserang CF dengan tipe infeksi bakteri yang berbeda. Mereka dipertemukan pada suatu rumah sakit dimana keduanya lakukan perawatan untuk mengobati penyakit semasing. 

Stella yang mengisi waktu luangnya dengan kerjakan konten vlog untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit yang dideritanya ini awalannya abai pada kehadiran Will. Ditambahkan, mereka dilarang untuk berdekatan (jarak minimum diantara mereka adalah enam kaki!) ditambahkan kerjakan kontak fisik karena miliki kekuatan untuk menjadi memperburuk kondisi keduanya. 

Tapi semua perlahan mulai berubah setelah Stella dibikin gemas dengan sikap Will yang cenderung cuek dengan kondisinya sendiri. Stella yang memiliki obsesi pada kedisiplinan ini pula ingin memutuskan untuk membantu Will agar lebih disiplin dalam ikuti pengobatan. 


Will tidak keberatan, namun dengan satu pra-syarat yakni Stella bersedia dilukis. Persetujuan ini disanggupi oleh Stella waktu lalu membawa keduanya pada pertemuan untuk pertemuan yang dengan perlahan tapi pasti turut menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka. 

Sebetulnya, saya sukses dibuai oleh Five Feet Apart pada satu jam pertama. Mengalun dengan tenang dan letakkan latar penceritaan sepenuhnya di rumah sakit, film panjang perdana Justin Baldoni (bintang penting di serial Jane the Virgin) ini tidak sudah sempat sekalipun menjelma jadi dongeng pengantar tidur. 


Kemampuan bagus dari tim tata artistik bersama dengan sinematografer kemungkinan besar rumah sakit tampak seperti satu penginapan dengan fasilitas bintang lima alih-alih terlihat bak rumah sakit yang menguarkan nuansa menjemukan.menyebalkan. Ditambah lagi, Five Feet Apart turut di dukung oleh perform ke-2 pelakon utamanya yang cemerlang. 

Haley Lu Richardson tampil enerjik jadi Stella yang memiliki sikap penuh optimistis dan seringkali menebar keceriaan pada sebagian orang di sekitarnya terutamanya dua sahabat sebaiknya; Poe (Moises Arias) yang menanggung derita CF dan Barb (Kimberly Hebert Gregory) yang merawatnya, sekejap Cole Sprouse laris slengean jadi Will yang tidak sudah sempat ragu-ragu mengambil peluang sebab dia melihat “hidup demikian singkat untuk dihabiskan dengan kekhawatiran”. 

Berkenaan beberapa tanda dilukiskan mempunyai perilaku positif, jadi mudah untuk saya untuk bikin ikatan emosi dengan keduanya. Dibanding bersungut-sungut meratapi derita, keduanya pilih untuk menantangnya dengan kepala tegak. Saya senang pada bagaimana Five Feet Apart coba menghantarkan pesan pemberi kemauan mengenai bersyukur, menghargai hidup, sampai nikmati masing-masing hembus nafas dari jalinan dua protagonis. Terasa menghangatkan juga sekaligus mendamaikan hati. 

Untuk sesaat, saya menduga Justin Baldoni akan patuh pada nada penceritaan yang menjelaskan optimisme dalam melantunkan Five Feet Apart. Tapi sebetulnya, dia pilih untuk membelokkannya dengan demikian ekstrim ke mode melodrama yang termasuk juga ngoyo. 


Sesudah beberapa adegan kencan yang tersaji manis (favourite dengan pribadi adalah waktu mereka ‘bergandengan’ menggunakan penghubung tongkat), si pembuat film tidak disangka memutarbalikkannya melalui satu tragedi yang menghenyakkan semua beberapa ciri. 

Saya sempat dibikin berkaca-kaca olehnya dan timbulnya adegan ini pula sebetulnya tidak terelakkan untuk memberi penekanan pada pergolakan emosi si beberapa ciri penting. Namun, saya berasa demikian terganggu dengan rentetan adegan yang mengikutinya. 

Ini, waktu kamu memiliki persoalan demikian serius dengan paru-paru, akankah kamu bertindak nekat dengan berjalan kaki sejauh 3 km waktu malam hari yang bersalju? Akankah kamu rebahan waktu sekejap di atas tumpukan salju? Akankah kamu bertindak tidak bertanggungjawab dengan bermain-main di atas danau yang membeku walaupun sebetulnya sangat jelas bila ini berefek? Bila beberapa ciri terkait bersungguh-sungguh dengan pengakuannya yang berbunyi “aku ingin hidup!”, jadi kegilaan-kegilaan ini tentu tidak seharusnya ditangani. Ada langkah-langkah untuk mengundang air mata dan entahlah mengapa Five Feet Apart justru mengambil langkah yang demikian mengejek akal sehat pirsawan dan membuat ke-2 beberapa ciri utamanya tampak demikian kurang pandai. 

Air mata yang sebelumnya sudah siap bercucuran pun waktu itu pun ingin memutuskan untuk kembali ke aslinya. Ingin memutuskan untuk menyesali ketentuannya karena telah menunjukkan diri. Jika saja Five Feet Apart tidak mempunyai satu jam pertama yang hangat dan manis, mungkin air mata itu benar-benar tumpah. Bukan karena sulit, tapi karena pikirkan uang dan waktu yang telah terbuang sia-sia.