Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : WONDER PARK (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : WONDER PARK (2019)

Wonder Park ada di antara tren film keluarga (animasi dan live action) yang berpesan supaya kita tidak kehilangan imajinasi waktu muda yang penuh kebahagiaan, walaupun beratnya fakta mulai merambat masuk. “Keep that little light in you shining bright”, demikian kata ibunda sang protagonis. Kalimat yang bertindak jadi poros tuturan drama miliki animasi produksi dengan tiga studio (Paramount Animation, Nickelodeon Movies, Ilion Animation Studios) ini. 


Bangun taman bermain imajiner bernama Wonderland ialah tentang yang Juni (Brianna Denski) masih lakukan dengan ibunya (Jennifer Garner). Wonderland adalah taman penuh wahana fantastis dan diurus oleh hewan-hewan berkemampuan bicara seperti manusia, yang “hidup” dari boneka Juni. Simpanse bernama Peanut (Norbert Leo Butz) jadi maskot taman itu. Dia bisa membuat wahana apa pun memakai spidol ajaib setiap saat Juni dan sang ibu berbisik di telinganya. 


Waktu berlalu dan rumah Juni dipenuhi taman bermain mini yang ditata menggunakan barang seadanya. Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama, sebab sang ibu memikul derita sakit keras dan mesti tinggalkan rumah untuk memperoleh perawatan. Kita bisa menerka apa penyakitnya (kesempatan kanker), tapi Wonder Park tidak sudah sempat mengucapkannya dengan gamblang, karena film ini diceritakan lewat perspektif Juni, si gadis cilik yang hanya tahu satu tentang: Tanpa sang ibu, cahaya kehidupannya meredup. 

Juni mulai singkirkan Wonderland, diganggu kecemasan dan ketakutan terlalu berlebih akan semua, lantas jadi (demikian) dewasa sebelum waktunya. Sampai lewat satu kebetulan, ia dapatkan pintu masuk mengarah Wonderland, rasakan taman ajaib itu telah porak-poranda dikuasai kegelapan, sekejap beberapa hewan mesti bersembunyi dari serbuan Chimpanzombie, boneka simpanse menggemaskan yang berubah jadi pasukan buas. 

Mencengangkan waktu tahu filmnya malas terburu-buru menyeret kita masuk Wonderland. Naskah garapan duet Josh Applebaum dan AndrĂ© Nemec (Mission: Impossible – Ghost Protocol, Teenage Mutant Ninja Turtles) bersedia bersabar tingkatkan elemen dramatik dari kehangatan hubungan ibu-anak yang takkan sulit menyedot air mata pirsawan dewasa, sekurang-kurangnya saat 30 menit pertama yang demikian emosional. 

Ketentuan di atas cocok, karena kita tahu apa yang menanti di Wonderland: Penelusuran sarat komedi slapstick yang berisik dan chaotic. Bahkan kita langsung di terima banter mempunyai nuansa rusuh pada beberapa ciri hewan, yang dikemas demikian rupa supaya petualangannya terkesan bertenaga, tapi justru hanya melahirkan kekacauan yang susah di nikmati, bahkan hampir menelan habis kemampuan humornya. 

Bermodalkan bujet $80-100 juta, Wonder Park memang tidak semewah produksi Dinsey, Pixar, atau DreamWorks, dan itu tampak jelas pada kualitas visualnya. Animasi Wonder Park bukan suguhan photo realistic kelas wahid, tapi sama esensi filmnya, visi serta imajinasi adalah yang penting. Mujur, visualnya memiliki dua elemen itu. Dibungkus warna-warni juga cahaya gemerlap, mata kita akan dipuaskan walaupun tidaklah sampai dibikin terpana. 


Permulaannya Wonder Park disutradarai oleh Dylan Brown, animator buat film-film Pixar seperti Finding Nemo, The Incredibles, sampai Ratatouille. Tapi ia dikeluarkan sebab skandal pelecehan seksual, lantas tempatnya digantikan oleh David Feiss (Open Season: Scared Silly), Clare Kilner (American Virgin, The Wedding Date), dan Robert Iscove (From Justin to Kelly, She’s All That). Entahlah sejauh apa progres film ini sebelum pemecatan Brown, tapi tentu saja, penyutradaraan ialah salah satu kekurangan besar Wonder Park. 

Ya, beberapa adegan dapat menyentuh hati, tapi itu keberhasilan naskahnya, dan semestinya akan lebih emosional bila bukan karena lemahnya (beberapa) sutradara bangun peristiwa. Khususnya momen mendekati akhir yang seharusnya jadi puncak penebusan dari semua proses yang Juni lalui. Hangat, tapi ada kemampuan untuk mengolah perasaan lebih jauh lagi. 

Sebab dasar dari naskahnya, Wonder Park urung porak poranda seperti Wonderland. Applebaum dan Nemec cukup rapi mengaitkan permasalahan kehidupan riil dengan permusuhan di Wonderland. Kuncinya adalah, berkepanjangan buat jadi hubungan ibu-anak jadi inti semua, baik itu penyebab masalah, atau langkah mengakhirinya. Pada akhirnya, di luar jejeran kekurangannya, Wonder park masih tetap perjalanan memuaskan tentang menantang kegelapan untuk kembalikan cahaya.