Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : DREADOUT (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : DREADOUT (2019)


Dalam vs layar-lebar DreadOut yang disadur dari video game populer bertajuk sama buatan Digital Happiness dari Indonesia, guliran penceritaan dipakai jadi prekuel untuk video game-nya. Di sini, beberapa gamer akan memperoleh informasi (sedikit) makin banyak mengenai si protagonis penting, Linda (Caitlin Halderman), termasuk bagaimana dia memperoleh ‘kekuatan’ yang rupa-rupanya diturunkan langsung dari sang ibu (Salvita Decorte). Kita akan tahu bila Linda tidak seperti rekan-rekan sebayanya yang memiliki hobi live di Instagram untuk memupuk popularitas, karena dia memakan waktu luangnya untuk kerja di minimarket agar dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi. 

Sebab begitu giatnya Linda kerja, sering dia sampai ketiduran di kelas waktu pelajaran masih berjalan – ckck, jangan sampai ditiru yaa, adek-adek! Hari-hari Linda yang dipenuhi dengan lembur ini untungnya sesegera usai dalam tempo dekat usai dia menyepakati persetujuan dengan seorang kakak kelas yang menawarinya perhiasan mahal. Persetujuan itu mengharuskannya untuk mengantar Jessica (Marsha Aruan) bersama dengan rekan-rekan sepermainannya yang terdiri dari Erik (Jefri Nichol), Dian (Susan Sameh), Alex (Ciccio Manassero), dan Beni (Irsyadillah), mengarah satu apartemen kosong yang didapati angker. Berkenaan Linda kenal sang penjaga, Kang Heri (Mike Lucock), jadi mereka pun mendapatkan akses ke bangunan kecuali satu ruangan yang dipagari garis polisi. Basic bocah bengal, tentu saja pantangan itu dilanggar dan seperti bisa diduga, serangkaian teror pun waktu itu pun menyergap mereka. Kapok koen! 

Sebetulnya, sulit untuk saya untuk meredam ketertarikan pada DreadOut. Bagaimana tidak, film ini memiliki beberapa faktor yang memungkinkannya buat jadi tontonan seram yang menyenangkan contohnya: 1) sutradaranya adalah Kimo Stamboel yang dimaksud salah satu personil The Mo Brothers dengan jejak rekam film-film seperti Bunian (2004 – Kimo jadi sutradara seorang diri dan ini satu diantara film horor Indonesia yang oke), Rumah Dara (2009) dan Killers (2014), 2) jejeran pemainnya terdiri dari pelakon-pelakon muda yang aktingnya bisa dibuktikan impresif yakni Jefri Nichol, Caitlin Halderman, serta Susan Sameh (dia bermain bagus di Dear Nathan: Hello Salma), dan 3) ini adalah film Indonesia pertama yang didasarkan pada video game dan permainannya yang sejenis survival horror itu cukup disukai oleh beberapa gamer karena mempunyai faktor excitement tinggi. 


Jadi, apa yang mungkin bisa salah dari ini? Lihat jejak rekam film rekonsilasi game yang kurang ciamik, saya pun tidak lantas menyelipkan keinginan tinggi-tinggi akan memperoleh tontonan dengan narasi berbobot. Patokannya sih kurang lebih seperti Sebelum Iblis Menjemput (2018) buatan relasi sejawat Kimo, Timo Tjahjanto, tempo hari yang kurangnya naskah dikompensasi oleh teror maksimal. Kalau bisa fun yang berarti membuat semangat, teriak-teriak, atau ketawa di bioskop, saya sudah terpuaskan – anaknya gampang suka kok. Waktu lalu jadi pertanyaan adalah, mampukah Kimo mengkreasi tontonan ngeri-ngeri enak yang levelnya sama juga dengan atau minimal mendekati film garapan Timo itu melalui DreadOut? 

Well, bagaimana ya saya harus menjawabnya. Jadi emmm… ini, errr… DreadOut tidak sedikitpun mendekati Sebelum Iblis Menjemput. Oke, pengharapan ini mungkin terdengar kurang cocok fakta mengingat materi sumbernya. Tapi berkenaan Timo adalah ‘belahan jiwa’ dari Kimo, tidak ada salahnya bukan mendamba DreadOut akan memiliki kesenangan yang kurang lebih selaras? Sebetulnya sih, jika kita bicara mengenai elemen teknis, film ini masih bisa untuk dihargai. 

Ada sinematografi, tata rias plus pakaian, sampai tata artistik yang oke. Si pembuat film bisa menghadirkan nuansa creepy di beberapa titik awal seperti lorong-lorong di apartemen yang temaram, ruang apartemen yang misterius, serta rumah si villain yang tampilan luarnya cukuplah sudah membuat beberapa penakut bergidik ngeri. 

Tidak hanya nuansa seram, Kimo juga kentara ingin menguarkan nuansa game melalui pergerakan kamera dinamis yang sering menerapkan first-person shot sampai pirsawan dapat lihat satu kejadian melalui mata Linda – walaupun makin belakang, ini terasa tidak lebih dari hanya gimmick. 

Ditambahkan dandanan jauh dari kata malu-maluin untuk rombongan hantu yang diwujudkan dalam rupa pocong berclurit bersama dengan wanita berkebaya merah (bahkan terlihat mengerikan lho!), DreadOut tunjukkan bila dirinya mempunyai kemampuan. Waktu lalu mengubur hidup-hidup kemampuan itu sampai film usai jadi tontonan menggelikan nan melelahkan adalah pengarahan Kimo berserta skrip racikannya. 


Bukan baru saja Cinetariz yang menerangkan bila narasi tidak berbobot bukan jadi permasalahan? Tenang, guys, saya tidak mendadak alami amnesia kok. Memang benar saya tidak mengharap DreadOut punya guliran penceritaan kompleks yang di dalamnya menyertakan input atau komentar sosial, tapi bukan berarti saya bisa terima dengan lega dada waktu ada banyak perihal tidak terjabarkan di sini. Karena banyak di sini, jumlahnya sangat banyak sekali (ingin deh menulis ‘banyak’ dalam huruf kapital). 

Jadi contoh saja, pirsawan tidak pernah diberi tahu mengenai asal muasal ‘kekuatan’ yang dipunyai Linda atau sang ibu, begitu juga dengan faedahnya dengan detail kecuali agar buka tutup portal gaib sesuai kemauan customer setia. Kita juga tidak dituangi informasi mengenai latar belakang wanita berkaya merah, mitologi dibalik kedatangan alam gaib yang dimasuki remaja-remaja ini, faedah keris yang diperebutkan oleh beberapa pihak, dan kesaktian flash di ponsel miliki Linda yang tahan air, tahan banting plus tahan lama itu. 

Pada akhirnya menanyakan yang dimulai dalam kata, “kenapa? Mengapa? Ada apa? ” tetap menghantui pikiran ini di saat waktu sampai saya gagal konsentrasi. Sampai saya tidak bisa dapatkan letak serunya film ini kecuali waktu pirsawan ngakak di adegan yang tidak seharusnya ngakak. Waktu iya ini disengaja oleh si pembuat film untuk memberi kesempatan buat pirsawan untuk mengeluarkan kekuatan mengarang bebas? Jadi ceritanya, kita dibebaskan untuk berasumsi mengenai apa yang berjalan dalam film tanpa sudah sempat dikasih tahu apa yang sebetulnya berjalan. Jika benar demikian, Astaghfirullah, Pak Kimo. Berasumsi dan berprasangka itu tidak dibenarkan oleh agama lho. Dosa!