Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : GULLY BOY (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : GULLY BOY (2019)

Suguhan seperti Gully Boy ialah bukti mengapa saya semangat menantikan film Bollywood tiap-tiap minggu walaupun harga tiketnya lebih tinggi. Beberapa sineasnya pakar mewakili suara kelompok yang dipaksa. Bukan saja memphoto kesulitan hidup, pun mempersiapkan suaka di mana rakyat kecil, minoritas, atau korban represi punya kesempatan berupaya, sekejap mereka yang lebih mujur coba dibangkitkan nuraninya untuk menumbuhkan kepedulian berasaskan kemanusiaan. 

Film ini dibikin berdasarkan pada narasi hidup Naezy dan Divine, dua profile penting dalam pergerakan skena hip-hop Mumbai. Kemiskinan dan ketidakadilan di sekitar jadi sumber inspirasi karya mereka. Dalam menerangkan itu, sutradara Zoya Akhtar (Bombay Talkies, Dil Dhadakne Do) yang turut menulis naskahnya dengan Reema Kagti (Dil Dhadakne Do, Gold), kentara memahami intisari kultur hip-hop jadi bentuk perlawanan terhdap kungkungan sosial-masyarakat. 


Murad (Ranveer Singh) adalah pria muslim yang tinggal di perkampungan kumuh. Sang bapak (Vijay Raaz)—yang menikah lalu membawa istri keduanya ke rumah—selalu menyuruh Murad “menundukkan kepala”, memahami takdirnya jadi rakyat kecil yang tidak pantas miliki mimpi besar. Murad pun hanya bisa diam menurut. Bait-bait rima tulisannya jadi cuma satu tempat di mana Murad bebas menjelaskan isi hati. Dia jatuh cinta pada musik rap. 

Murad merajut asmara dengan Safeena (Alia Bhatt), gadis dari keluarga bisa yang bercita-cita jadi ahli bedah, walaupun ibunya beranggapan bila wanita tidak memerlukan pendidikan tinggi. Keduanya terpaksa sekali masih diam-diam bertemu di bus, sebab sejumlah besar orang di seputar mereka, termasuk orang-tua Safeena, adalah muslim konservatif yang melihat pacaran jadi tindakan tidak mempunyai kepribadian. 

Murad dan Safeena muncul dengan di monitor untuk pertama kali lewat salah satu momen romansa non-verbal termanis yang sudah sempat saya saksikan. Saya takkan menguraikan detail situasinya, kecuali bila still photo adegan itu digunakan jadi materi poster filmnya. Hanya melalui satu adegan itu, saya langsung terpikat pada pasangan ini. Lebih, Ranveer Singh dan Alia Bhatt bisa membuahkan chemistry sempurna, di mana sang aktris tunjukkan akting berapi-api jadi “gadis senggol bacok” yang tidak malas kerjakan tindak kekerasan pada wanita yang ingin “mencuri” sang kekasih. 

Peluang Murad masuk skena rap hadir setelah bertemu MC Cher (Siddhant Chaturvedi) pada suatu pertemuan komune rap bawah tanah. Meskipun masih hijau dan perlu banyak belajar mengenai permainan beat, Sher akui baka Murad waktu menulis bait yang walaupun indah, demikian tajam pun jujur tangkap fakta grup bawah. 

Ada banyak sekali tentang coba di jabarkan Gully Boy waktu durasinya yang menyentuh 153 menit. Tidak ada semenitpun terbuang sia-sia dalam perbincangan basa-basi, tapi harus diakui, kebanyakan masalah dipadatkan dengan paksa. Jadikan satu pengalaman riil dua profil manusia, Gully Boy seperti berkemauan mengumpulkan sebanyak cerita tentang beberapa pencari kebebasan. Mulai dari pertempuran Murad untuk tunjukkan kekuatannya sampai mimpi, keresahan mengenai jomplangnya kesejahteraan masyarakat, kemiskinan yang menggerakkan kriminalitas, kekolotan pola fikir termasuk mengenai langkah publik lihat wanita, dan lain-lain. 


Masing-masing isu memancing subplot baru, yang terkadang melelahkan diimbangi dan berefek menyebabkan rusaknya peristiwa. Mujur, deretan problematikanya relatable, sampai mudah memancing suport buat tokoh-tokohnya. Kita ikut berasa terjatuh waktu mereka dijatuhkan, dan selanjutnya, waktu mereka bangun, melawan, lantas berjaya, kita akan bersorak seperti merayakan kemenangan besar. 

Penyutradaraan Zoya Akhtar cukup dinamis untuk ikuti atmosfer yang dibikin jejeran lagu rap (beberapa dibikin juga sekaligus dibawakan oleh Naezy dan Divine) yang sekurang-kurangnya akan membuat anda tergoda menggoyangkan kepala, terserap ke hentakan adiktif juga permainan kata yang sering menggelitik. Saat ciri-khasnya beradu rap, beberapa kalimat cacian ampuh memancing senyum, tawa, atau bahkan—seperti beberapa kumpulan pirsawan yang duduk di muka saya—teriakan menjadi ungkapan kekaguman atas “serangan brutal” tiap-tiap rapper. 

Ranveer membuat protagonis likeable dalam transformasi perlahan Murad dari pria tertekan yang pilih diam jadi profil kuat yang bersedia berdiri untuk melawan. Semua dipicu proses bermusiknya. Dan di atas panggung, Ranveer memberi kepercayaan waktu jadi pemimpin kharismatik yang mengomandoi beberapa ratus pirsawan untuk bernyanyi dengan, jadikan satu teriakan perlawanan yang lama terpendam sampai menyesakkan dada.