Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : LUKISAN RATU KIDUL (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : LUKISAN RATU KIDUL (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : LUKISAN RATU KIDUL (2019)


Kisahnya mengetengahkan kakak beradik, Dimas (Teuku Zaky) dan Satria (Wafda Saifan), yang terima warisan rumah dari mendiang sang bapak. Waktu kecil dahulu, mereka sempat tinggal dari sana, tapi tidak ada daya ingat yang masih tetap ada. 

Mereka berdua, bersama dengan istri Dimas, Astrid (Ussy Sulistyawaty) dan sang puteri, Sandra (Annisa Aurelia), pun tinggal sekejap di rumah itu sekalian pikirkan langkah sesudah itu. 

Di kebingungan itu, entahlah tahu kedatangan mereka dari tempat manakah, datanglah Kevin—diperankan Fadika Royandi lewat akting over-the-top memuakkan—menawarkan diri untuk temukan customer. 

Dimas yang kebetulan tengah dilanda kesulitan finansial pun setuju menjumpai klien Kevin, seorang kolektor lukisan Nyi Roro Kidul (Wawan Wanisar) buatan kakek Dimas, Rusdi Soedibyo (Egi Fedly), yang konon menyimpan potensi mistis sampai dapat memberi keberuntungan buat pemiliknya. 


Sang kolektor mengaku, bila dulu ia meminta dibuatkan 13 lukisan, tapi baru 12 buah yang ia terima. Dia pun yakini bila lukisan ketigabelas masih tersimpan di rumah Dimas, dan berani menawar 8 milyar rupiah untuk menebusnya. Rasanya ingin saya menanyakan tentang itu pada Husein M Atmodjo (Midnight Show, 22 Menit, Persetujuan Dengan Iblis) menjadi penulis naskah: Bila si kolektor pesan 13 lukisan pada Rusdi karena unsur magis di dalamnya, mengapa baru di lukisan terakhir Rusdi dapatkan langkah meniupkan potensi mistis pada karyanya?. 


Mungkin saya yang salah inginkan Lukisan Ratu Kidul memedulikan kesolidan narasi. Lebih setelah saat waktu, filmnya bertutur dengan kasar, yang dimaksud kombinasi tulisan ganjil, penceritaan kasar sang sutradara, serta penyuntingan asal pasang. Sering tidak ada jembatan antar-adegan, sampai mengesankan ada shot yang hilang ditelan Bumi seperti hilangnya ibunda Dimas dan Satria. 

Jangan sampai berharap pun penampilan jejeran pemain ada selamatkan situasi. Bukan sekedar Fadika Royandi, memang tidak ada akting “menyakitkan” yang lain, tapi tidak pun pantas disebut menarik. Terkecuali aktor senior Wawan Wanisar (pemeran Pierre Tendean di Pengkhianatan G 30 S/PKI) lewat penghantaran kalimat begitu alami, serta Annisa Aurelia, yang sekurang-kurangnya, jadi aktris cilik, cukup memberi kepercayaan mainkan situasi di mana ciri-khasnya dihimpit teror. 

Meskipun keseluruhnya filmnya hampir remuk redam, kemampuan Ginanti Rona jadi sineas horor masih bisa disaksikan di beberapa kesempatan. Mempercayakan trik timbulnya hantu medioker, jump scare garapan Ginanti punya ketepatan timing yang terkadang efektif mencengangkan pirsawan walaupun seringkali diganggu musik buatan Ricky Lionardi (Rectoverso, Danur 2: Maddah, Tembang Lingsir) yang lebih berisik dibandingkan sound skema konser dangdut RT samping. 

Sejak alih persona jadi Dheeraj Kalwani, saya memang rasakan perubahan di produk-produknya, termasuk permasalahan tata artistik yang bukan sekelas Bandung Lautan Asmara. Tentang sama masih bisa dijumpai di sini, waktu tempat indoor-nya ditangani cukup solid, khususnya dominasi warna hijau menjadi warna Kanjeng Ratu Kidul. Ya, sampai satu close-up shot tunjukkan properti pisau yang kentara dibikin menggunakan aluminium foil. Dari sana saya berasa cukup.