Jumat, 19 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : US (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : US (2019)

Review dan Nonton Film 2019 : US (2019)


Didapati jadi seorang komedian, siapa yang menyangka jika Jordan Peele kenyataannya begitu lihai dalam meramu sajian horor yang dapat membuat beberapa penontonnya berasa tidak nyaman? Dalam debut penyutradaraannya, Get Out (2017), yang menghantarkannya sampai piala Oscars untuk grup Naskah Asli Terbaik, Peele memang tidak menggedor jantung pirsawan dengan penampakan-penampakan memedi atau gelaran adegan sadis. 

Dia memberikan mimpi buruk melalui “rumah calon mertua yang penuh rahasia” dimana white supremacy kenyataannya masih dijunjung tinggi dibalik penampilan luar serba toleransi dan terbuka. Buat masyarakat Amerika Serikat yang tengah dirundung permasalahan rasisme – dan sebetulnya ini berjalan pun ke sejumlah seluruh dunia – apa yang disebutkan oleh Peele di sini terasa terkait. 

Mewakili keresahan publik pada situasi sosial politik yang semakin gonjang-ganjing khususnya buat masyarakat dari grup minoritas. Alih-alih terdengar ceriwis, komentar si pembuat film justru terasa efektif sebab kecakapannya dalam bercerita dimana isu yang menyebabkan keresahannya lantas diwujudkan jadi sumber teror. 


Entahlah untuk kamu, tapi untuk saya, manusia memang tampak lebih mengerikan dibanding makhluk-makhluk supranatural seperti hantu sebab ada intimidasi riil yang dipertunjukkan lebih waktu mereka dibutakan oleh nafsu berbalut kebencian. Bukankah terdengar mengerikan waktu manusia ikhlas menghalalkan semua langkah hanya untuk penuhi kesenangan pribadi? Peele memahami benar hal itu sampai dia pun kembali gunakan sisi gelap manusia jadi “sang peneror” dalam film terbarunya, Us, yang kenyataannya oh ternyata… terasa lebih mencekam dibanding film perdananya!. 


Seperti dalam Get Out, beberapa ciri penting yang menggerakkan roda penceritaan dalam Us pun hadir dari satu keluarga kelas menengah. Waktu lalu membedakannya adalah personil keluarga menjadi sentral cerita di sini kesemuanya berkulit hitam serta tidak memiliki permasalahan dengan white supremacy atau rasisme. Mereka tampak bahagia, mereka pun tampak normal. Bahkan mereka mempunyai satu villa di dekat pantai yang dapat dipakai untuk berlibur dan melepas lelah. 

Jadi, apa yang mungkin salah kesempatan kali ini? Well, (balik lagi) seperti dalam Get Out dan tentu saja fakta dalam kehidupan ini, tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang yang terlihat bahagia seolah tidak memiliki beban hidup dapat juga menyimpan satu rahasia kelam yang tidak pernah terbayangkan oleh siapapun. Dalam kerangka Us, rahasia itu dipendam oleh Adelaide Wilson (Lupita Nyong’o) yang rupanya memiliki pengalaman traumatis pada saat kecil waktu bertandang ke taman hiburan di dekat pantai. 

Dia bertemu dengan doppelganger atau seseorang yang memiliki kemiripan muka dengannya sampai Adelaide tidak dapat bicara waktu sekejap. Sebab begitu eratnya Adelaide menyimpan rahasia ini, tidak seorang pun yang tahu termasuk sang suami, Gabriel (Winston Duke – relasi main Nyong’o dalam Black Panther), dan ke-2 anaknya, Zora (Shahadi Wright Joseph) bersama dengan Jason (Evan Alex). 

Rahasia yang telah dipendam oleh Adelaide waktu tiga dekade lamanya ini perlahan mulai tersingkap waktu keluarga Wilson memperoleh kunjungan tidak terduga di villa waktu malam hari ini. Kunjungan tidak terduga yang jauh dari kata bersahabat dari satu keluarga yang semua personilnya memiliki kemiripan fisik dengan Adelaide, Gabriel, Zora, atau Jason. 

Berbeda dengan Get Out yang memakan waktu cukup lama untuk memanas, Us telah menebar kengerian dari sejak prolog. Bukan tipe kengerian bertabur jump scares dimana pirsawan dibikin terkaget-kaget oleh timbulnya satu entitas dengan iringan musik yang telah diatur selalu untuk ada pada volume tertinggi, tapi tipe kengerian yang membuat hati berasa cemas. 


Pirsawan dikondisikan untuk rasakan ada satu yang salah di sekitar Adelaide cilik waktu dia berkunjung ke taman bermain dengan ke-2 orang tuanya. Apa itu dan darimana aslinya? Hanya Tuhan dan tim pembuat film yang tahu. Yang tentu, kenyamanan saya sudah terganggu demikian rupa sampai tidak bisa duduk dengan tenang di kursi bioskop. 

Saya hanya bisa menanti dengan cemas sekalian bertanya-tanya: apa yang akan menimpa Adelaide di menit seterusnya? Sesuai dengan prediksi, kemalangan itu memang seterusnya mendekati si gadis cilik. Melalui adegan pembuka ini, saya menjumpai perasaan ingin tahu yang lain untuk dapatkan hubungannya dengan narasi penting. 

Sebelum kita rasakan jawabannya, pirsawan diperkenalkan lebih dulu pada keempat beberapa ciri penting yang konfigurasinya terdiri dari Adelaide yang tampak menyimpan banyak kecemasan, Gabriel yang selow sesudah ikuti faedah ciri-khasnya jadi comic relief, Zora yang cenderung acuh tidak acuh pada kondisi sekitar, serta Jason yang sedikit nyentrik. Peele mengupayakan agar kita membuat ikatan dengan mereka sampai waktu teror berwujud home invasion dengan resmi dimulai, kita pun menaruh kepedulian atas nasib keempatnya. Kita berharap banyak agar mereka dapat terlepas dari bencana ini. 

Setelah “para kembaran” mulai masuk arena penceritaan, Us yang sebelumnya sempat mengalun santai pun tidak memperkenankan beberapa penontonnya untuk menghela nafas lega. Adegan kucing-kucingan pada keluarga Wilson dengan kembaran mereka yang kuasai sebagian besar waktu bisa dihantarkan dengan demikian mencekam oleh Peele sebab ketelatenannya dalam meramu beberapa macam bahan baku. 

Bahan baku yang dipakai oleh si pembuat film salah satunya: 1) penetapan gambar yang menguarkan nuansa yang membuat bulu kuduk meremang, 2) penyuntingan yang rapat, 3) iringan musik menghantui bernafaskan orkestra yang dibawakan oleh kombinasi suara, 4) jalinan penceritaan yang sarat komentar sosial, serta 5) perform beberapa pelakon yang menggambarkan kata “sinting”. Ya, bahan baku ini memang kurang lebih selaras dengan Get Out. Namun, Peele pilih untuk menggeber teror yang tertampang riil dari sejak mula berbentuk “kembaran jahat” yang gunakan baju terusan berwarna merah dan membawa gunting tajam alih-alih menyembunyikannya. 

Melalui mereka, pirsawan seolah diminta pikirkan, “bagaimana jika kamu kenyataannya memiliki saudara kembar yang demikian keji dan tidak segan-segan menghabisimu?”. Melalui mereka pun, pirsawan dibawa berkontemplasi mengenai sisi kelam manusia yang dimaksud pesan penting dari Us. Kita sering mempunyai ketakutan pada seorang yang lain yang berbeda dari bagian warna kulit, agama, ras, strata sosial, sampai langkah berpikir sampai muncul prasangka bila mereka adalah intimidasi. 

Mereka adalah musuh terbesar umat manusia yang butuh diperangi atau minimal, diasingkan. Tapi bagaimana jika kenyataannya sejauh ini musuh terbesar yang butuh diperangi adalah diri kita sendiri? Bagaimana jika kenyataannya kita memiliki pemikiran-pemikiran kejam dan ‘menyimpang’ yang tidak sudah sempat sekalipun kita sadari? Bagaimana jika kenyataannya kita bukan “orang baik” seperti yang kita pikirkan?.