Senin, 15 April 2019

Review dan Nonton Film 2019 : SUNYI (2019)


Review dan Nonton Film 2019 : SUNYI (2019)


Sunyi ialah remake dari Whispering Corridors (1998), yang mana ambil bagian dalam waktu baru perfilman Korea Selatan waktu pembebasan dari penyensoran sesudah kediktatoran militer usai. Pada akhirnya, film itu dipakai menjadi alat menjelaskan input pada banyak isu, khususnya perundungan dan kerasnya pola pendidikan. Itu bukti mengapa karya Park Ki-hyung itu jadi insiden populer, walaupun kualitasnya sendiri cukuplah mengenaskan. Berbeda dibanding pendahulunya, Sunyi tidak kebingungan pastikan jati diri, mencampurkan horor dan drama dengan cukup bagus, membuat remake yang superior. 

Tema perundungan bukan saja dipertahankan oleh Sunyi, bahkan diberi eksplorasi lebih dalam. Kisahnya berlatar tahun 2000 di SMA Abdi Bangsa yang prestise tapi digelayuti isu perundungan yang konon telah berjalan turun-temurun. Pun menebar rumor bila pada dekade lalu, hal tersebut merenggut nyawa tiga siswi, yang sampai saat ini arwahnya tetap bergentayangan di sekolah. 

Protagonis kita bernama Alex (Angga Yunanda), putera mediang paranormal popular, yang menjelang hari pertamanya bersekolah di Abdi Bangsa, makin mencemaskan senioritas dari sana. Waktu ia nyatakan kekhawatiran itu, sang ibu (Unique Priscilla) menyikapi, “Senioritas kan bagus buat character building”. Dari sana kita bisa lihat pola yang menyebabkan perundungan tetap lestari. 



Waktu malam pertama, siswa-siswi tahun pertama dikumpulkan oleh ke-3 senior mereka: Andre (Arya Vasco), Erika (Naomi Paulinda), dan Fahri (Teuku Ryzki), untuk ada malam arah. Saat itu hukum senioritas mulai diresmikan. Murid tahun pertama adalah budak (tahun ke-2 disebut “manusia”, tahun ke-3 disebut “raja”, alumni disebut “dewa”) yang perlu menuruti perintah senior yang mempunyai hak mengambil barang apa pun miliki mereka, bahkan dilarang masuk area-area seperti perpustakaan, kafetaria, juga toilet. 

Bu Ningsih (Dayu Wijanto) menjadi kepala sekolah berasa kuatir, tapi atas nama rutinitas, pilih membiarkan. Tengah beberapa junior masih tetap diam, karena melawan bukan saja buat jadi mereka musuh publik, pun menghilangkan kesempatan memperoleh jaringan luas miliki alumni. Sampai titik ini, naskah buatan sutradara Awi Suryadi (Danur, Badoet) dengan duet Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Badoet, Ingin Jadi Apa?, Reuni Z), bisa dibuktikan bisa mempersiapkan pijakan solid dalam penggambaran lingkaran setan budaya perundungan. Tidak berhenti dari sana, naskahnya ambil langkah lebih jauh menelusuri permasalahan peranan pola asuh orang-tua lewat tro Andre-Erika-Fahri. Orang-tua mereka sama-sama mempunyai permasalahan, entahlah mengimplementasikan hukuman fisik, menuntut demikian tinggi, atau mungkin tidak ada di rumah. 


Ketiganya membuat hari-hari Alex bak neraka. Mujur, ia bertemu Maggie (Amanda Rawles). Keduanya semakin dekat, dan dunia SMA Alex tidak sesunyi itu. Apesnya, demikian jati diri ayahnya dijumpai Fahri, Alex disuruh menyebutkan arwah beberapa siswi yang konon bergentayangan di sekolah. Permulaannya usaha itu tampak gagal, tapi tidak lama berlalu, kematian mulai menyebar dan darah mulai tumpah di SMA Abdi Bangsa. 

Saat Whispering Corridors seolah melupakan hakekatnya jadi horor, Sunyi mengimplementasikan pendekatan familiar sekalian masih tetap memberi jalan buat komponen-komponen di atas agar mengalir jadi dasar cerita, alih-alih hanya jump scare seperti banyak horor medioker lokal paling akhir. Di luar adegan “listening class” dan “kolam renang” (yang sudah tampil di trailer), terornya sedikit tunjukkan kreativitas. Sejumlah besar formulaik, ditambah riasan hantu seadanya. Tapi saya mengapresiasi penolakannya untuk melempar jump scare membabi-buta atau memakai efek suara berisik. Sama judulnya, film ini tidak takut mengimplementasikan kesunyian, tahu kapan mesti berdiam diri, kapan mesti tampil menggelegar (yang tidak sudah sempat begitu berisik). Tata musik garapan Ricky Lionardi (Danur, Sakral, Lukisan Ratu Kidul) juga terkadang terdengar atmosferik. 

Sunyi pun letakkan hati dalam tempat yang cocok. Kembali ke adegan “kolam renang”, dengan mencengangkan momen itu menyimpan berat emosi. Ada perasaan susah dari sana, saat senior aktor perundungan ditampakkan kerapuhannya, dilukiskan jadi salah satu korban kegagalan pola pendidikan, tentunya tanpa berusaha menjustifikasi aksi mereka pada junior. Momen itu memberi kepercayaan saya bila mereka tidak pantas mati. Sampai saya mengamini waktu Alex mengonfrontasi sang hantu di klimaks sekaligus menyampaikan pernyataan sama. Semakin memuaskan waktu Sunyi ditutup oleh konklusi hangat, satu yang dikorbankan film aslinya untuk menambahkan twist tidak perlu. 

Ya, jika sudah lihat Whispering Corridors, anda tahu akan ada twist. Saat waktu, filmnya tunjukkan itu melalui beberapa tips subtil. Apa yang membuat spesial adalah, sekalinya kejutan itu diungkap (sayangnya lewat eksekusi antiklimaks), pirsawan tidak dipenuhi rekap, menjadi keterangan atas sebaran petunjuk-petunjuk baru saja. Seolah semua adalah “bonus” buat pirsawan yang bersedia menaruh perhatian lebih.